Deadline

Deadline atau batas akhir adalah waktu yang harus dilewati untuk penyelesaian sebuah pekerjaan.

Bagi kita yang tidak disiplin, deadline seperti memberikan ekstra waktu untuk menunda, menarik nafas dan merilekskan diri. Tetapi, bagi orang disiplin, deadline memang sebuah batas waktu agar bisa menyelesaikan semua rencana tepat pada waktunya.

Pola pikir bahwa deadline untuk dilanggar, memang bukan hanya milik saya sendiri. Buktinya, orang-orang seperti saya, biasanya belum akan mengumpulkan sebuah tugas/pekerjaan sebelum hari H-nya. Kami berpikir bawah masih ada sebulan lagi, dua minggu lagi, seminggu lagi, sehari lagi, dan bahkan lebih gila lagi… beberapa jam lagi, misalnya, sehingga tidak pernah merasa urgen untuk mulai mencicil tugas tersebut. Ironisnya, kalau tugas belum selesai, maka waktu berikutnya akan dihabiskan untuk negosiasi sambil menceritakan tragedi deadline supaya ada waktu untuk menarik nafas lalu kembali terbirit-birit menyelesaikan tugas itu. Betapa melelahkannya.

Setuju, perasaan letih itu pasti ada. Tetapi, selain itu ada rasa lain yang muncul di diri setelah pengumpulan, semacam puas dan lega karena bisa mengakali waktu, dengan tetap menyelesaikan pekerjaan. Setelah itu, tanpa bersalah, masih memberi reward pada diri untuk berlibur lama dengan alasan baru saja menyelesaikan pekerjaan berat, padahal sebenarnya baru dikerjakan di batas-batas akhir saat deadline menghampiri.

Sewaktu saya masih sering melakukan hal tersebut, saya tidak menyukai perasaan kurang nyaman karena seperti ‘membohongi diri’ tadi. Saya juga cemas dengan kualitas pekerjaan. Semua yang berbau lastminute.com, mutunya bisa dipertanyakan. Itulah sebabnya, sungguh tidak adil menyalahkan orang lain atau sistem kalau kita mendapat nilai buruk atau tidak menang sesuatu. Coba pertanyakan dulu diri kita, apakah kita sudah maksimal bekerja dalam batas waktu tertentu atau belum maksimal karena baru dikerjakan di saat-saat terakhir saja?

Teknik terbaik untuk melatih diri agar tidak mengalami kesulitan dengan deadline, adalah belajar mengumpulkan pekerjaan/laporan satu hari lebih awal dari deadline. Meski hanya satu hari lebih awal, tetapi efeknya sangat signifikan.

Saat saya memutuskan untuk mengumpulkan laporan tesis satu hari sebelum deadline, masih ada cukup waktu untuk meneliti kembali susunan halaman dan mencetak kembali karena ditemukan warna kertas yang tidak seragam. Tak terbayang rasanya kalau harus dikumpulkan hari itu juga, tetapi saya masih harus melakukan cetak ulang selama 4-5 jam, lalu berlari cepat seperti seekor cheetah ke tempat penjilidan sebelum mereka tutup. Saya cukup tenang karena ada ekstra waktu (well, 24 jam itu ekstra waktu yang cukup banyak loh) untuk mengumpulkan sesuatu. Efek positifnya, ya saya tidak perlu begadang, mengganggu orang, atau memerlukan rehat panjang karena keletihan mengejar deadline.

Coba selesaikan satu hari lebih awal saja dan rasanya bedanya.

Pekanbaru,

Re-post: Deskripsi Diri

Belum dibuat saja, rekan-rekan kerja sudah ramai mengingatkan supaya, “jangan menyontek Deskripsi Diri orang lain”.  Saya jadi semakin tergelitik ingin mengetahui seperti apa DD, atau Deskripsi Diri yang harus dikumpulkan sebagai bagian dari Portfolio Dosen Yang diSertifikasi tersebut.

Saat mengerjakannya, barulah saya mengerti mengapa mereka getol mengingatkan soal ‘copas’ DD tadi. Ternyata, sulit juga membuatnya, apalagi kalau kita tidak biasa berkontemplasi soal pekerjaan dan karir selama ini. Soalnya, kita lebih sering berkontemplasi mengenai kepribadian dan keuangan ketimbang pekerjaan. Bagi kita, pekerjaan tak lebih ‘kerja supaya dapat uang’, sehingga agak susah meluangkan waktu untuk mengevaluasi usaha kita dalam bekerja.

DD memang sangat berguna untuk mengekslor rekam jejak seseorang sedetil-detilnya. Pertanyaan-pertanyaannya ringkas saja mengenai pembelajaran, riset, pengabdian, pengelolaan institusi dan mahasiswa. Tetapi semua aspek pekerjaan yang dilakukan sehari-hari sudah terwakili di sana. Jika jejak rekam kita tak cukup baik di satu bidang, maka kita akan ngos-ngosan menuliskan esai yang tak boleh kurang dari 150 kata. Lain halnya kalau kita melakukan sebuah aspek pekerjaan dengan baik, maka 150 kata akan terasa sangat kurang karena saya pernah kebablasan menulis sampai 950 kata.

Menurutku, disinilah DD berfungsi sebagai alat pengontrol atau alat muhasabah diri dalam bekerja. Mestinya DD dosen dibuat setiap tahun, bukan sekali saja untuk kegiatan sertifikasi ini. Pasalnya, setelah membuat DD, saya baru menyadari belum melakukan beberapa aspek pekerjaan dengan benar. Ada hal-hal yang dipelajari secara otodidak, mengikuti contoh dari rekan, mendengarkan instruksi atasan, dan berprinsip ‘biar cepat asal selamat’ saja ketimbang mengikuti aturan yang benar. Lewat DD itulah, saya terkesima melihat rekam jejak yang memiliki banyak ketimpangan di berbagai aspek pekerjaan. Sudah jelas hal ini tak bisa dibiarkan. Saya harus memperbaiki DD di masa mendatang, walau tidak diminta secara formal.

Saran saya, DD harus dibuat jauh-jauh hari, minimal sebulan sebelum pengumpulan online. Pembuatannya harus didasarkan pada CV dengan format yang ada di buku ii Pedoman Serdos (dapat diunduh di www.serdos.dikti.go.id). Jika kita punya cukup waktu untuk berkontemplasi, maka DD yang otentik bisa dihasilkan. Permasalahannya, kita sering menunda-nunda pekerjaan penting ini. Saat detik-detik batas waktu pengumpulan menghampiri, dalam situasi tertekan, otak semakin sulit mengingat diri kita. Sebab itu orang menyontek DD milik rekannya walaupun yang diceritakan bukan dirinya sendiri. Lucu!

Kita tak bisa mencontek DD orang lain, selain hal itu ilegal, juga tidak mencerminkan diri sendiri secara jujur. Sehingga ada baiknya tidak membaca DD orang sebelum dibuat untuk menjaga obyektifitas. Meski kita pernah membacanya, kita toh akan kesulitan mengimitasi orang lain. Pasalnya, tiap orang punya pengalaman, prinsip dan kekhasan gaya dalam bercerita tentang dirinya. Asesor yang berpengalaman tentu dapat mengidentifikasi konsistensi gaya menulis seseorang. Lagipula, apa enaknya menyontek DD orang, jika kita bisa membuat DD sendiri yang lebih mantap dan punya kekhasan diri. Seharusnya kita malu untuk menempuh jalan ‘biar cepat asal selamat’ itu, kalau kita sering mengingatkan mahasiswa untuk tidak bertindak demikian.

Pekanbaru,

Dihadapi saja, jangan ditakuti

‘Lagi-lagi tentang mindset.’

Beberapa orang mahasiswa tugas akhir di tempat saya sangat takut saat mendapatkan dosen tertentu sebagai penguji. Bukannya menyusun strategi, menambah amunisi atau mencari ketenangan, mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk mengulang-ulang cerita horror tentang ujian proposal dengan dosen tersebut.

Saya tak habis pikir dengan mindset mereka.

Bukankah dosen yang killer tapi pintar itu sebenarnya lebih banyak memberikan masukan bagus-bagus untuk tugas akhir mereka? Kenapa harus takut dan tersinggung jika kita memang layak untuk diajak berpikir mengenai tugas akhir? Mengapa defensif, seolah-olah kita tidak boleh ditanya tentang pekerjaan kita? Jika ditanya saja sudah ngeri, bagaimana dengan mempertahankan argumennya?

Pantas, saya harus menceritakan kisah pribadi berikut saat dibimbing dosen killer se jurusan waktu S1. Memang menakutkan, tapi saya pasrah saja, karena:

        Apa yang terlihat buruk di luar belum tentu seperti itu di dalamnya.

       Sesuatu yang sulit dan pahit, pasti banyak manfaatnya.

        Hidup itu memang penuh perjuangan…

        Bersakit-sakit dahulu, berenang-renang ke tepian, berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian (woi, kebalik!)

        etc, etc.

Berbekal mindset demikian, saya harus rela datang pukul lima pagi setelah shalat subuh hanya untuk asistensi di rumah beliau! Ngantuk, lapar, kedinginan, tapi harus menahan diri melihat laporan Kerja Praktek dicoret-coret setiap hari. Hari ini salah bab I dan II. Besok, masih salah bab I, II, dan III. Besoknya lagi, bab itu-itu lagi yang salah: I, II, III, dan IV. Untunglah hanya ada 5 bab, sehingga setelah asistensi intensif setiap hari dalam seminggu, saya boleh menjilid laporan KP dan berhak atas nilai A.

Hal seperti itu yang tidak mau dipahami mahasiswa saya sekarang. Ketimbang menyiapkan diri atau mengerjakan ‘homework’nya terlebih dahulu, ia memilih khawatir siang-malam sampai detik-detik berhadapan langsung dengan dosen yang ditakutinya tiba. Tidak heran 70% peluang gagal ada di tangan mereka.

Sebagai langkah penyelesaian, pertama, saya minta mahasiswa untuk menukar mindsetnya. Ia harus membuat dirinya memahami bahwa ‘dosen penguji proposal hanya ingin membantu supaya tugas akhir yang dihasilkan lebih berkualitas’. Saya tekankan hal itu berulang-ulang kali.

Kedua, ia harus dibantu dalam mempersiapkan diri, karena orang yang sedang tegang pasti tak bisa berpikir jernih. Beberapa teknik saya gunakan, misalnya mengirimkan list pertanyaan tentang TA, membaca dan mengedit proposal sehingga lebih layak dibaca, dan mengajarkannya membuat presentasi TA yang menarik. Tunjukkan bahwa pembimbing sangat peduli dengan persiapannya dalam seminar, sehingga timbul kepercayaan di diri mahasiswa bahwa ia tidak sendirian berjuang di sana.

Akhirnya, saya ajarkan ia untuk pasrah. Saat semua usaha sudah dilakukan secara maksimal, artinya kita sudah menyelesaikan 90% dari seluruh persiapan, ia harus bisa menerima masukan yang terburuk sekalipun. Disamping itu saya membantu menumbuhkan rasa optimis bahwa kalau ia harus mengulang, saya siap mencarikannya judul baru dan membantunya dari awal lagi. Meskipun saya sendiri tahu bahwa hal itu tidak perlu sampai demikian kalau semua persiapan sudah dilakukan dengan maksimal.

Pekanbaru,

Tukar mindset dalam mengajar

Pengalaman saat mengajar lab ‘Engineering Mechanics 100’ untuk mahasiswa Foundation Engineering Year di Curtin University, Perth, WA banyak membantu saya memahami teknik pengajaran aktif. Mahasiswa Australia lebih aktif dalam belajar, sedangkan tipikal mahasiswa Asia masih banyak yang minta dibimbing khusus. Di situ, sayapun belajar untuk menghargai pendapat mahasiswa dan diajar harus tidak malu jika memang salah.

Menurut pengamatan saya, tidak seperti rekan-rekan mereka dari Asia, mahasiswa asli Australia memang lebih mandiri dan percaya diri. Mayoritas dari mereka tidak suka bolak-balik bertanya kalau tidak perlu. Bahkan ada satu grup yang memutuskan menyelesaikan sendiri masalah mereka tanpa bantuan saya. Paling ada satu-dua anak yang bertanya sedikit mengenai teori penyelesaian, lalu sisanya mereka pelajari sendiri dari catatan maupun buku teks. Mereka menggunakan sikap ‘percaya pada pekerjaan sendiri’ daripada ‘pekerjaan orang lain’. Oleh karena itu saya harus memperlakukan mereka seperti rekan-rekan kerja, demi kedewasaan mereka dalam berusaha.

Berkebalikan dari itu, beberapa mahasiswa Asia masih banyak yang minta ‘disuapi’. Beberapa mahasiswa cukup menjengkelkan karena seperti tidak mau berpikir sendiri, menyontek teman atau lembar jawaban semester lalu terang-terangan di depan saya. Bahkan ada mahasiswa yang cukup judes dan jutek saat rayuan tak mempan untuk mengubah pikiran saya. Saya hanya pura-pura tidak mendengarkan supaya tetap fair. Tidak heran kalau saya jadi sedikit keras pada mereka, supaya tidak mudah bersikap lembek dan ngambek kalau sedang belajar.

Pelajaran lain yang saya dapatkan adalah harus tidak malu jika salah mengajarkan sesuatu. Saya pernah didebat oleh seorang mahasiswa yang mengatakan logika penyelesaian dari saya salah. Sebenarnya bagian yang didebatnya itu bagian pelajaran Teknik Mesin (cari excuse), dan buka ‘core subject’ saya. Tetapi saya mengakui logika berpikirnya setelah memikirkan soal itu lagi bersama-sama. Saya hanya mengucapkan terima kasih dan menerangkan kembali kepada kelas tentang perubahan tersebut. Tidak seperti beberapa rekan yang memilih defensif dengan mengatakan “That’s the way it is”, saya memilih mengorbankan ‘wajah’ saya demi kemaslahatan semua mahasiswa.

Mereka berhak mendapatkan pelajaran yang benar, dan wajah saya pastilah akan mereka ingat selalu dalam hidup, (haa, nasib).

Pekanbaru,

Beda tempat, beda style

Bulan lalu saya menghadiri konferensi internasional di suatu tempat. Di sana saya mempresentasikan penelitian dari riset S3 sebelumnya tentang pengaruh mikro algae pada korosi baja tulangan beton geopolimer.

Pada hari pertama, konferensi terlihat wah dengan ratusan peserta. Belajar dari pengalaman, saya sudah siap-siap kalau saat saya presentasi di hari kedua nanti, mungkin hanya ada 5-8 orang yang mau menyaksikannya. Berkaca dari pengalaman ikut presentasi di tempat lain, saya merasa ada beberapa faktor penyebab sebuah konferensi ditinggalkan pesertanya dan kurang berkesan.

Pertama, keinginan belajar para peserta melalui presentasi penelitian lain sangat minim. Kita tidak mau duduk barang sebentar untuk melihat presentasi yang diminati, apalagi mau aktif bertanya pada sang presenter. Mayoritas peserta sudah tak tentu batang hidungnya setelah presentasi mereka selesai. Mereka tidak tertarik untuk duduk mendengarkan presentasi peserta lain dengan alasan tidak cukup waktu untuk jalan-jalan atau melakukan kegiatan pribadi. Lagipula semua materi sudah dirangkum dalam CD, jadi tidak ada alasan untuk duduk di sana, padahal paper tersebut dapat dibaca di rumah nanti.

Di Australia, Cina dan Inggris, para peserta sangat antusias untuk duduk memperhatikan tiap presentasi. Saat di Australia, saya sering kecele sendiri, karena sebelum giliran saya biasanya ruangan terlihat sepi. Begitu saya mulai berdiri di depan podium untuk presentasi, ruangan yang tadi sepi lantas penuh sesak dan para peserta banyak yang rela berdiri sekedar untuk mendengarkan presentasi tersebut. Meski takut setengah mati, saya sebenarnya sangat berbesar hati melihat penghargaan dari mereka.

Kedua, konferensi bunga rampai yang kelewat gado-gado dalam pelaksanaannya. Sebenarnya pihak penyelenggara boleh berbesar hati dengan jumlah peserta dari berbagai bidang. Tetapi dalam pelaksanaannya, sebaiknya semua bidang ilmu dipisahkan melalui beberapa sesi. Dengan demikian, peserta tidak harus menunggu terlalu lama  untuk mengikuti presentasi yang mereka inginkan. Sayapun demikian. Saya memilih untuk kabur dari tempat konferensi daripada duduk di ruangan seminar dengan materi yang tidak saya pahami.

Padahal di negara-negara maju, penelitian multidisiplin berkembang pesat dan mengkolaborasikan keahlian berbagai bidang, sehingga para peneliti selalu mencoba mencari kesempatan atau jejaring yang dapat diajak bekerjasama. Salah satunya dengan menyaksikan presentasi para peserta dari bidang lain untuk mencari peluang kerja sama. Saya sering mendapatkan kenalan dengan cara demikian. Berbagai masukan dari pihak yang tidak sebidang tapi risetnya berkaitan dengan saya cukup membantu dalam penyelesaian tesis. Tidaklah mengherankan bahwa konferensi menjadi ajang paling ampuh untuk melaksanakan networking.

Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa beda tempat, memang beda style. Alasan utama: mungkin kuantitas sering dilebih-lebihkan daripada kualitas.

Pekanbaru,

Presentasi dalam Bahasa Inggris

Sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan sebelumnya untuk ‘memaksa’ mahasiswa agar berani presentasi dalam bahasa Inggris.

Pertama, sebagai dosen pengampu, kita harus membuktikan bahwa kemampuan berbicara bahasa Inggris sendiri cukup bagus. Gunakan bahasa Inggris terus-menerus dalam kelas supaya mereka terbiasa mendengarkan dan menangkap sendiri maknanya.

Kedua, berikan latihan speaking kepada mahasiswa. Gunakan materi Speaking IELTS seperti ‘role play’ guna bertukar informasi lewat tanya-jawab. Contohkan satu sesi pada mahasiswa, lalu biarkan mereka saling melakukan tanya-jawab dengan teman-temannya. Seraya mereka melakukan aktivitas tersebut, kita dapat memanggil satu mahasiswa untuk kita tanya, dan menyuruhnya berganti partner, sehingga dapat terus berlatih. Saya menggunakan teknik tersebut supaya mereka mengenal teman-temannya serta kemampuan mereka. Jika mereka telah nyaman berbicara dengan teman-temannya, saat presentasi nanti mereka tidak nervous lagi.

Ketiga, perlihatkan video teknik presentasi dalam bahasa Inggris dan praktekkan teknik tersebut pada presentasi kita sendiri di depan mahasiswa.

Keempat, ajarkan teknik membuat power point dan penyusunan informasi di dalam slide.

Kelima, bagi mahasiswa yang belum lancar presentasi, mereka dianjurkan membuat skrip/skenario presentasi untuk dihafalkan.

Keenam, setelah presentasi selesai, minta mahasiswa/audiens untuk bertanya agar terjalin komunikasi antara presenter dan audiens. Hal ini akan menambah rasa percaya diri mahasiswa.

Catatan, saya tidak bisa memberikan nilai terbaik hanya berdasarkan kemampuan bahasa Inggris saja, jika kesenjangan keahlian berbahasa Inggris cukup besar. Presentasi yang diselingi bahasa Indonesia di sana-sini tidak masalah, asal presentasi tersebut menggunakan  ‘technical term’ wajar di bidang Teknik Sipil, penyampaian sesuai struktur presentasi dan dapat memberikan ‘take home message’ pada audiens.

Pekanbaru,

Evaluasi Pengajaran Praktis lewat Surveymonkey.com

Salah satu web yang menawarkan survey tool praktis untuk mendapatkan evaluasi tentang segala hal, adalah surveymonkey.com

 

Saya menggunakan tool ini untuk mendapatkan Evaluasi Pengajaran Mekanika Teknik I, Semester Ganjil 2012/2013 untuk sekitar 120 orang mahasiswa.Tujuan survey adalah mendapatkan umpan-balik mengenai teknik pengajaran, bahan kuliah, penjelasan mengenai tujuan pembelajaran, kecepatan saat penyajian kuliah, kompetensi pribadi dalam mata kuliah tersebut, tingkat kepuasan mahasiswa setelah mengikuti pelajaran, dan kemampuan saya menjelaskan materi kuliah yang sulit.

Survey dapat dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Tetapi, berita baiknya, kalau disusun dalam bahasa Inggris, sudah ada template pertanyaan yang dapat digunakan secara langsung saat kita mengetik kata-kata.

Cara membuatnya sangat mudah. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a) Buat akun,

b) Klik +Create Survey

c) Pilih plan survey yang ‘BASIC’ dan tidak berbayar. Kekurangan edisi terbatas ini, karena hanya terbatas pada 10 pertanyaan, tidak ada template survey, tidak dapat menganalisis dengan aneka grafik dan tidak dapat mengunduh grafik.

d) Sebarkan link survey melalui email kepada responden

e) Secara berkala, kita dapat mengevaluasi jawaban responden. Klik tab ‘Analyze Results’. Kita akan melihat ‘Respond Summary’ dan persentase tiap pertanyaan yang diberikan.

Keuntungan survey on-line semacam ini sangat banyak. Selain menghemat kertas dan biaya fotokopi, hasil dapat digunakan langsung untuk memperbaiki metode pengajaran maupun bahan ajar yang digunakan dengan evaluasi secara berkala.

Besar kemungkinan hasil survey on-line sangat obyektif. Teknik ini memungkinkan mahasiswa untuk memberikan umpan balik pada dosen tanpa merasa tertekan atau merasa khawatir pola tulisan mereka diketahui. Meski IP address diberikan, saya tidak pernah terpikir untuk mengecek satu-persatu dan mengaitkannya dengan siapapun. Itu bukanlah tujuan saya membuat survey. Umpan balik dari mahasiswa sangat saya perlukan pada tahap ini, tanpa menunggu evaluasi pembelajaran yang biasanya dilakukan di tiap akhir semester.

Kelemahan survey on-line tentu saja terletak pada kerumitan mengumpulkan alamat email mahasiswa yang benar. Hal ini dapat diantisipasi dengan melakukannya jauh-jauh hari. Minta mahasiswa mengumpulkan alamat email mereka di awal perkuliahan atau mengirimkan email kepada dosen yang bersangkutan.

Pekanbaru,

Kunjungan ke Key Laboratory of Advanced Civil Materials of Ministry Education, Tongji University, Shanghai

Saat mengikuti ASPIC 6 (Asian Symposium on Polymers in Concrete) 2009, di Tongji University, Shanghai, saya sempat mengunjungi salah satu laboratorium bahan. Sebagai catatan, ASPIC 6 adalah symposium tiga tahunan tentang beton polimer untuk mendiskusikan perkembangan dan teknologi terbaru untuk aplikasi bahan ini. ASPIC 6 disponsori oleh RILEM (International Union of Laboratories and Experts in Construction Materials, Systems and Structures), (www.rilem.org).

Laboratorium Advanced Civil Materials merupakan salah satu lab yang dibangun di Universitas Tongji pada tahun 2005 dengan bantuan Kementerian Pendidikan China. Lab tersebut dilengkapi dengan 19 peralatan laboratorium yang harganya sekitar RMB 500.000 atau sekitar Rp 750.000.000 per unit. Hingga kini, lab itu menjadi tempat riset untuk melaksanakan penelitian dan proyek-proyek yang didanai oleh berbagai kementerian di China. Riset-riset mengenai bahan baku semen, bahan komposit, bahan-bahan ramah lingkungan serta penelitian mengenai kinerja dan karakteristik bahan dilakukan oleh sekitar 24 orang profesor dan 37 orang staf dosen dengan melibatkan 300 orang postdoctoral dan mahasiswa pasca sarjana.

Saya agak ragu-ragu sewaktu Dr X, seorang staf postdoktoral wanita, mengatakan ingin memboncengi saya menggunakan sepedanya. Sepeda memang alat transportasi paling praktis di China, termasuk untuk keperluan di kampus. Padahal jarak lab tidak terlalu jauh dari tempat simposium, tetapi Dr X memaksa saya mencoba moda transportasi khas itu. Ternyata memang menyenangkan naik sepeda dari satu tempat ke tempat lain di kampus Tongji!

Awalnya saya diajak ke sebuah gedung berlantai dua yang tampak kusam berdebu. Saya tidak heran dengan penampilan gedung yang saya nilai tidak secerah gedung kampus di Australia. Pasalnya, tingkat polusi di kota Shanghai sudah pada taraf memprihatinkan. Semua bangunan jadi seperti memakai bedak putih. Meski begitu, saya tetap berpikir positif bahwa di balik penampilannya yang kurang menarik, maka kita tak boleh meremehkan isi labnya.

Ternyata dugaan saya benar. Baru di lantai dasar saja, saya sudah tertarik melihat riset mereka. Dr X menunjukkan sebuah model dinding bercat merah yang dipenuhi tempelan keramik. Menurutnya, tempat itu merupakan tempat tes untuk menempelkan mortar jenis baru. Tujuannya, untuk mengecek tekstur, kemudahan pengerjaan, arah aplikasi dan waktu ikat dari mortar saat digunakan keramik ditempel ke dinding.  Ini riset yang menarik. Kita akan menggunakan keramik untuk menjaga dinding agar tidak mudah kotor atau rusak, sehingga bahan ikat yang kuat, mudah kering dan tidak cepat retak sangat dibutuhkan.

Sebuah dinding yang dibangun di belakang dinding tempelan keramik tadi ternyata untuk riset ‘energy efficient wall’ yang sedang menjadi trend saat ini. Inti riset ini adalah untuk membuat dinding yang dapat menstabilkan suhu di musim panas maupun musim dingin, sehingga penggunaan energi untuk pendingin maupun pemanas ruangan dapat ditekan.

Beberapa saat kemudian kami memasuki beberapa ruangan lab untuk bahan-bahan konstruksi teknik sipil seperti tanah, mortar, dan beton. Aneka peralatan lab dan asesorisnya tersusun dengan rapi di dalam lab. Beberapa pekerjaan seperti menguji kekuatan keramik, pori bata, rembesan mortar, korosi baja, tarik baja, kekuatan suhu tinggi baja, durabilitas beton dan lain-lain bisa langsung diamati di sana. Semua peralatannya kecil-kecil dan kegiatan mereka sangat menyenangkan untuk dilihat. Rasanya ingin punya lab sebagus itu di Universitas Riau.

Saya menunjuk pada beberapa bebek keramik berwarna putih yang baru dikeluarkan dari cetakan.  “Apakah ini bagian dari riset juga?” tanya saya kepada Dr X. Dr X dan teknisi yang sedang berada di situ tertawa lebar. Bebek-bebek dari keramik tersebut dibuat oleh para teknisi di waktu luang mereka untuk dijual. Bebek itu dicat berwarna-warni dan siap dipasarkan di toko souvenir.

Kami berkeliling sebentar untuk melihat alat-alat lain. Dr X dengan bersemangat menjelaskan kegunaan tiap alat dan data yang diperoleh dari pengujian. Saya bisa melihat uji shrinkage yang sampelnya diberi beban. Biasanya saya melakukannya pada benda yang tidak dibebani. Uji seperti ini sudah mengarah pada keadaaan sebenarnya di lapangan. Lab mereka punya tiga set alat uji permeabilitas. Lebih banyak dari alat yang dimiliki GHD/SGS di Perth tempat saya mengerjakan sebagian riset.

Hal yang paling menyenangkan bagi saya saat itu, yakni pada akhirnya saya dapat melihat langsung alat Freezing-Thawing, sesuai dengan standard ASTM C666 (Standard Test Method for Resistance to Rapid Freezing and Thawing). Pengujian ini sulit ditemukan di Australia karena jarang terpakai. Pengujian ini menggunakan sebuah peti freezing-thawing besar yang dapat memuat 10-15 sampel. Beton diuji untuk menentukan ketahanannya akibat siklus freezing-thawing berulang. Siklus freezing-thawing biasanya terjadi di negara empat musim dengan cuaca panas-dingn ekstrim. Pengaruh suhu ekstrim berulang tersebut akan mengurangi kekakuan dan merusak pori-pori beton. Sampel yang telah dimasukkan dalam peti freezing-thawing, lalu diuji sifat elastis dan porositasnya.

Sesuai janjinya tadi, Dr X memperlihatkan beton geopolimer dari slag yang dibuatnya untuk riset. Kami sama-sama membuat beton geopolimer, tetapi saya membuat sampel berbahan dasar abu terbang. Permukaannya sampel miliknya lebih halus dan kelihatannya lebih kedap air. Meskipun beberapa lubang terlihat di sana, tetapi hasil penelitian mereka jauh lebih menjanjikan untuk aplikasi langsung. Cukup lama juga kami berdiskusi mengenai hasil riset beliau dan saya. Ia memberikan banyak saran untuk memperbaiki kinerja beton saya. Menurut Dr X, hasil risetnya itu telah dipublikasikan di jurnal ASCE. Ia bilang, saya pasti bisa menuliskan artikel yang bagus untuk publikasi juga. Sungguh manis, dia.

Ah, sepertinya saya harus bergegas pulang ke Perth, untuk memperbaiki kinerja beton geopolimer itu dan menuliskan hasilnya di paper bagus juga.

 

Pekanbaru,

Repost: A dedicated Dr IC

Tulisan ini pernah dipost pada blog ini.

Lelaki separuh baya bertubuh besar, tinggi, berambut putih, dan bersuara menggelegar itu memberi perintah sana-sini. Walaupun tengah berbicara dengan teknisi, dengan bahasa Inggris yang terlalu cepat tetapi terdengar mantap, sekali-sekali ia memberi petunjuk pada kerumunan mahasiswa di depannya.

Beberapa bulan setelah saya selesai studi literatur, Dr IC mendapat kesempatan untuk membaca proposal saya. Menurutnya, banyak hal yang harus diperbaiki walaupun proposal itu sendiri sudah ‘readable’. Ia bukan pembimbing utama, tapi hanya sebagai Associate Supervisor. Saya hanya bisa menerima komentarnya tanpa banyak protes, karena riset memang hal baru bagi saya. Disamping itu Dr IC adalah sesepuh dosen Struktur di Jurusan, so, hitung-hitungan cepat mengatakan bahwa pengetahuan saya sendiri paling 10% dari pengetahuannya. Dr IC menginginkan riset aplikatif, orisinal dan sesuai dengan tujuan akhir kualifikasi level mahasiswa doktoral. Saya seperti melihat sebuah puncak sebuah menara, padahal rasanya posisi saya sekarang masih berada jauh di luar pagar menara itu sendiri.

Dr IC terkenal akan campur-tangannya dalam berbagai hal di lab Beton. Meskipun sibuk dengan mengajar kelas dan terlibat dengan berbagai proyek, tetapi Dr IC selalu berusaha hadir di lab luas itu. Peralatannya membentang dari dalam lab Beton hingga di bawah ‘Big Blue Shed’. Big Blue, demikian mereka memanggilnya, adalah tempat menguji sampel dengan alat-alat berskala lapangan.  Dr IC adalah tipe orang yang tak sungkan duduk diam di lab mengutak-utik program dan mengkalibrasi data logger selama berhari-hari. Ia seperti sebuah kelengkapan lab, karena pengetahuannya yang luas di bidang teori dan aplikasi menjadi tempat rujukan bagi siapapun.

Beliau sepertinya selalu turun tangan ingin membantu (baca: mengurusi) riset siapa saja yang membutuhkan dirinya. Bisa jadi dari sekedar saran keilmuan hingga bantuan tenaga. Terkejut juga melihat Dr IC mau berkotor-kotor meratakan permukaan beton segar yang baru dicor milik seorang teman tanpa diminta. Saya sering terkaget-kaget mendengarnya berbicara langsung memberikan saran saat saya tengah mengerjakan sesuatu yang dianggapnya belum sempurna. Misalnya saat pemasangan sulfur cap untuk benda uji tes tekan. Tangan ini sampai pegal rasanya karena harus mengulangi pemakaian sulfur cap pada sampel agar mendapatkan permukaan yang rata sesuai alat kalibrasi. “Jika tidak, hasilnya kurang akurat karena beban tidak terdistribusi merata di permukaan benda uji”, kata Dr IC, membesarkan hati melihat wajah saya yang kelelahan.

Dosen seperti Dr IC memang bukan idola para teknisi di lab. Ia selalu ‘pushy, wants things on the spot, crazy’ dan segudang kata-kata berbunga (baca: mengerikan) selalu royal dilimpahkan mereka untuknya. Diri sayapun selalu bimbang menentukan sikap. Kadang mengidolakan, kadang ingin beliau pensiun saja dari lab. Jika sedang merasa dibantu, saya jadi ‘friends’, sedangkan saat jadwal riset saya terpotong untuk keperluannya,  sudah pasti langsung mencak-mencak sendiri berharap ia tidak pernah melakukannya. Tetapi biar tak jelas begitu, kadang di saat-saat paling tak terduga, Dr IC bisa ada untuk membantu. Untuk pengambilan data terakhir riset saya yang telah tertunda berbulan-bulan, Dr IC malah bersedia membantu mengkalibrasi dan mengatur alat-alat tes Modulus of Elasticity tersebut. Kami bekerja sama dengan baik sekali, tanpa beban perasaan.

Mungkin semangat Dr IC yang meledak-ledak, keinginannya agar semua orang bisa ‘as professional as they can be’, dan berbagai harapan agar semua tantangan yang diterimanya dalam pekerjaan dapat terakomodasi, membuatnya terlihat sangat produktif. Padahal jika dilihat dari kondisi fisiknya sekarang, Dr IC tampak lebih tua dan ringkih dari tahun-tahun sebelumnya. Ia masih tidak mau menyerah, meskipun umur dan penyakit terus menggerus kecepatan aktivitasnya. Ia bilang, kesukaannya pada ‘tantangan’ dan keasyikan memberi pengajaran pada mahasiswa Teknik Sipil dengan cara berbeda dari semestinya, seperti ‘beam competition’; bagaikan sebuah tonik penambah semangat hidup.

Semangat itulah yang ingin ditularkannya pada orang-orang di sekelilingnya. Pada dosen muda seperti saya, ia berpesan agar rajin berinovasi dalam pengajaran dan penelitian, sekaligus memperbaiki kompetensi diri agar dapat menjadi pengajar sekaligus insinyur yang profesional.

Saat saya berpamitan dari lab untuk terakhir kalinya, Dr IC menyalami saya dengan hangat. Saya lihat matanya seperti penuh berkata-kata tentang sesuatu. Entah apa artinya, sehingga saya merasa sungkan dan melirik lantai beton di bawahku. Sudah bertahun-tahun saya melihatnya di sana dan pada saat yang sama pula ia melihat kegigihan saya berjuang di lab maskulin itu. Meskipun pekerjaan itu memerlukan waktu lebih lama dari orang lain,  saya harap dia melihat usaha-usaha yang tidak sempurna itu sebagai sebuah usaha terbaik saya untuk menaklukkan kesangaran perjalanan mendaki menara PhD.

Detik berikutnya, saya bisa melihat penghargaan itu dari dirinya. Karena ia sekarang mulai berceramah tanpa ragu soal proyek terbaru mereka di Kalbarri, daerah pertambangan; seolah-olah saya seseorang yang telah lama dikenalnya dengan baik.

Thank’s Dr IC to remind me that, “There’s always a room for improvement”.

Perth,

 

The Benjamin Lumantarna Symposium on Structural Engineering and Construction Technology

Ibu/bapak yth,

Dengan sukacita kami mengundang ibu/bapak semua untuk mengikuti ‘The Benjamin Lumantarna Symposium on Structural Engineering and Construction Technology’ yang akan diselenggarakan pada:

Hari, tanggal   : Jumat, 14 September 2012
Waktu           : 08.30-17.00
Tempat          : Auditorium, Universitas Kristen Petra
Jl Siwalankerto 121-131, Surabaya

Simposium ini diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan 50 tahun jurusan Teknik Sipil UK petra Surabaya, dan didedikasikan sepenuhnya untuk Prof. Benjamin Lumantarna, untuk kontribusinya yang besar di bidang Teknik Struktur, Teknologi Konstruksi dan Pendidikan Teknik Sipil di Indonesia.

Tak kurang dari 16 pembicara dari berbagai belahan bumi akan menyampaikan presentasinya yang mutakhir dalam simposium ini, a.l. Prof. SL Lee (NUS Singapore), Prof. Worsak Kanok-nukulchai (AIT, Thailand), Prof. Tamon Ueda (Hokkaido U, Japan & Chairman of ACF), Prof. Priyan Mendis (U of Melbourne), Prof. D.T. Lau (Carleton U, Canada), Prof. Susanto Teng (NTU, Singapore), Prof. Drajat Hoedajanto (Ketua HAKI), Ir. Gideon Hadikusuma, M.Eng dan Ir. Sugie Prawono, M.Eng.

Informasi lengkap dan formulir pendaftaran terlampir. Kami menantikan partisipasi aktif ibu/bapak semua dalam simposium ini. Terimakasih untuk perhatiannya.

Salam kami,
Panitia
The Benjamin Lumantarna Symposium on Structural Engineering and Construction Technology