Berpartisipasi dalam Alumni Professional Development Program (APDP)

Program ini merupakan implementasi ‘Alumni Engagement Strategy’ oleh Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) dan Australia Awards in Indonesia (AAI). Kegiatan dilaksanakan oleh Konsorsium universitas di Australia dan Indonesia yang dipimpin oleh Griffith University. Tujuannya untuk meningkatkan jumlah publikasi ilmiah dan mengembangkan networking antara alumni. Peserta yang mengikuti kegiatan dibagi menjadi dua, yakni mentor dan mentee. Kegiatan dilaksanakan dari Mei 2017-Januari 2018.

Motivasi saya mengikuti program ini sederhana saja, “to give back to my profession while building expertise”. Maknanya, saya ingin meningkatkan skill, mengupdate skill, dan membagi skill yang saya miliki dalam hal publikasi penelitian. Selain itu, saya ingin bertemu teman-teman alumni Australia atau alumni universitas negara lain di kegiatan-kegiatan Professional Development seperti ini.

Sebagai salah satu mentor APDP, saya mendapatkan pengalaman berikut:

a) Mentoring sistem menggunakan platform mentoring yang diorganize oleh Griffith University. Platform ini membantu saya berinteraksi dengan organizer, mentee, dan mentor lain. Interaksi dengan mentee dapat dicatat dan dievaluasi oleh organizer di Australia. Secara umum ada beberapa milestones yang perlu dilakukan: develop the rapport, goal setting, mentoring agreement discussion, mid-point assessment feedback exercise dan share your mentoring journey.

b) Update ilmu mengenai pola riset, kinerja riset, pembentukan policy melalui riset, komersialisasi riset. Output riset menjadi tidak terbatas lagi, meski selama ini hanya berupa publikasi ilmiah dalam prosiding dan jurnal. Riset yang berguna bisa dimanfaatkan dalam bentuk product dan public policy (kebijakan publik).

c) Proses mentoring yang challenging. Untuk bisa sukses menjadi mentor, maka harus punya banyak skill. Kita bukan dosen pembimbing yang pasif menanti mahasiswa bimbingan, tetapi kita adalah kolega sang mentee. Mentee bisa dianggap menjadi our young colleague di tempat kerja. Di awal bekerja, saya sudah cukup open-minded dan straightforward dengan sistem mentoring yang saya lakukan. Target saya membantu mereka untuk publikasi sampai selesai (meski program ini berakhir Januari 2018).

d) Teknik mentoring dengan metode blended, sebagian online dan face-to-face workshop. Seperti pada program DIES-DAAD UNILEAD yang pernah saya ikuti, teknik ini membantu menghemat biaya dan waktu karena dilakukan dengan kombinasi workshop dan interaksi online. Saat workshop, kami diberi materi oleh beberapa Profesor dari Australia dengan metode ceramah atau teleconference. Organizer kegiatan ini, yakni Anni dan Helen dan beberapa teman dari UI, UNJ dan Unhas benar-benar luar biasa dalam menjembatani perbedaan budaya dan culture shock yang dialami semua pihak.

e) Networking dengan teman-teman alumni Australia dan alumni negara lain. Kesempatan networking membantu kami saling berbagi informasi kegiatan Professional Development dari link lain atau negara lain, bahkan undangan lanjutan dalam kegiatan-kegiatan akademik di lingkungan universitas mereka. Kesempatan mengeratkan hubungan sesama Alumni Australia selalu saya nantikan, karena target saya setiap ada acara alumni, saya harus dapatkan minimal lima no WA atau kartu nama.

Mentee saya ada tiga orang, dari USU, UIN Sunan Ampel Surabaya dan Departemen Kelautan. Ketiganya alumni Australia dan memiliki bidang-bidang keahlian berbeda. Meski demikian saya tetap optimis kami bisa memenuhi kedua tujuan di atas yakni penulisan artikel ilmiah dan networking. Kami akan ketemu lagi (insya Allah) dalam International Conference Januari 2018 di Jakarta.

Pekanbaru,

Sukses dengan Proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)

Berkat mengikuti sosialisasi pelatihan mengenai Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2016 dan 2017, maka diperoleh berbagai tips menarik agar proposal yang dibuat berhasil didanai oleh DIKTI.

Sejak kembali dari studi, saya tidak banyak membimbing program kreativitas mahasiswa karena sibuk bekerja di Kantor Urusan Internasional Universitas Riau. Padahal sebelum studi S3, para mahasiswa di kelompok Research Club yang didirikan pada tahun 2003 sempat berjaya dalam aneka lomba penelitian dan penulisan karya ilmiah di tingkat lokal maupun nasional. Sesaat sebelum studi S3 dimulai, kelompok kami mendapatkan kesempatan untuk maju ke PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) dengan judul penelitian “Pengaruh penambahan bubuk kaca dan fly ash terhadap sifat-sifat mortar”. Ketiga mahasiswa tersebut yakni Indra Kuswoyo, Munawir Sazali dan Hendra Gunawan berangkat ke Malang untuk berlaga di babak lanjutan.

Kembali ke zaman now, pada tahun 2016, satu kelompok mahasiswa bimbingan berhasil memenangkan PKMGT (Gagasan Tertulis) dengan judul “Pembangunan air shelter dalam rangka penanggulangan dampak bencana asap akibat kebakaran lahan gambut di Riau”. Disusul pada tahun 2017, dua kelompok mahasiswa yang mengikuti PKMP (Penelitian) dan PKMM (Pengabdian kepada Masyarakat) mendapat dana dari Belmawa Ristekdikti. Keberhasilan kedua kelompok ini membuat saya lega luar biasa, karena we’re on the right track. Luaran kegiatan PKMP dengan judul “BETGEL-RHA atau Beton Geopolimer Rice Husk Ash sebagai material konstruksi ramah lingkungan gambut” rencananya akan dipresentasikan di The 2nd International Conference on Science and Technology, 15-16 November 2017 di Pekanbaru. Sedangkan hasil kegiatan PKMM berupa buku kreatif dan sosialisasi pada anak-anak SD di Pekanbaru (judul proposal “Buku kreatif sebagai media edukasi pengenalan pelestarian gambut untuk anak usia sekolah”) akan diterbitkan di jurnal pengabdian masyarakat.

PKMM

Tujuan melaksanakan PKM, menurut Prof Sundani (beliau juga expert bidang Pengabdian Kepada Masyarakat Ristekdikti) adalah untuk memberikan tantangan intelektual, belajar menulis proposal ilmiah yang baik, memunculkan solusi dengan karakter kedaerahan dan memamerkan kekuatan intelektual institusi.

PKM perlu memiliki unsur unik, kreatif, bermanfaat dan taat aturan.  Tips untuk sukses menulis proposal PKM dapat disarikan sebagai berikut:

a) Permasalahan administratif diminimalkan, contohnya tidak ada jumlah halaman, jumlah halaman lebih dari 10, dan tidak ada tanda tangan pembimbing.

b) Karya dinilai memiliki kreativitas tinggi, ada kebaruan substansi, produk unik, tidak membawa tema-tema generik, menjawab permasalahan yang sedang populer di masyarakat, dan memiliki unsur kedaerahan.

c) Proposal tepat sasaran, misalnya PKMM untuk masyarakat non-produktif dan PKMT untuk masyarakat produktif. Keduanya membutuhkan surat persetujuan mitra. Tanpa surat tersebut maka proposal mendapat nilai rendah.

d) Rencana Anggaran Biaya (RAB) diestimasi sesuai dengan metode lalu kewajarannya dinilai. RAB tidak untuk honorarium, fotokopi atau membeli peralatan elektronik seperti laptop dan kamera.

e) Proposal dapat menjelaskan secara nalar, memiliki produk intelektual, dan dapat memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara langsung/tidak langsung.

f) Kreativitas sesuai dengan anggaran, tidak perlu yang terlalu canggih, dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya.

Menulis proposal PKM cukup tricky, karena penulisnya belum pernah ikut kuliah Metodologi Penelitian atau training sejenisnya, tetapi dorongan dan bimbingan dari pembimbing sangat diperlukan.

Pekanbaru,

Final Year Project Batch S1 (Bagian 01)

Kode rombongan Batch 00 sudah mulai digunakan pada tahun 2012, saat saya kembali membimbing grup penelitian tugas akhir mahasiswa setelah selesai studi S3. Pada suatu siang di lab, seorang mahasiswa datang menghadap untuk berdiskusi judul tugas akhir. Saya menerimanya, karena ia yang datang meminta saya menjadi pembimbing. Pertimbangannya adalah komitmen mau bekerja di bawah bimbingan saya sehingga ia tentu tidak merasa terpaksa kalau harus bekerja sesuai dengan standar saya. Bisa dibayangkan betapa tingginya hati seorang dosen pembimbing TA itu ya, hehe. Setelah itu beberapa mahasiswa datang lagi ingin dibimbing dan bersedia digojlok dengan puluhan paper berbahasa Inggris.

Rombongan pertama ini paling banyak mengalami suka-duka selama ngelab karena berbagai alasan personal, profesional, teknis dan praktis. Saya juga harus mulai dari nol seperti harus menyemangati, menyiapkan paper dan standar, melatih presentasi, membuatkan langkah-langkah TA dengan saya, dsbnya, termasuk demo membuat geopolimer di lab. Kadang-kadang saya lihat mereka duduk di bawah pohon ketapang sambil mengayak abu sawit untuk bahan penelitian tanpa kenal lelah. Berkat kesigapan dan ketekunan kelompok pertama ini, beberapa orang yang masuk dalam rombongan berikutnya terbantu karena pengetahuan dan tips mereka bekerja di lab.

Mahasiswa di Batch 01 sangat luar biasa dari segi semangat dan kekompakan. Mereka sangat ambisius dan banyak membaca. Hasilnya bisa dilihat dari 2 publikasi di prosiding terindeks Scopus dan mendapatkan best paper award (silver medal) dalam MIGS 2 (Malaysia Indonesia Geopolymer Symposium) 2015 di Surabaya. Topik yang diangkat Batch 01 merupakan topik-topik baru dan belum banyak diteliti sebelumnya. Ada beberapa mahasiswa yang menulis tugas akhir dengan rapi, lengkap dan berbobot tinggi , sehingga mereka seharusnya mendapat gelar S2 ketimbang S1.

Tahun 2014, saya dikejutkan 8 orang mahasiswa yang mau bergabung dalam Batch 02. Meski ramai, mereka selalu rajin bekerja dengan topik masing-masing. Saya sendiri kewalahan pada awalnya, tetapi terbantu karena antusiasme dan kekompakan mereka bekerja di lab. Beberapa mahasiswa mendapatkan hasil penelitian yang baru dan original. Meski demikian, kesulitan membina grup besar adalah waktu bimbingan yang sulit dipenuhi karena kesibukan lain. Saya harus membagi kelompok menjadi beberapa grup kecil dengan topik sama supaya lebih fokus saat bimbingan penulisan laporan tugas akhir. Topik yang dicover seperti beton menggunakan campuran kerang, beton di gambut dan geopolimer dirawat di suhu ruang.

Bersambung ke Part 02, ya.

Re-post: Deskripsi Diri

Belum dibuat saja, rekan-rekan kerja sudah ramai mengingatkan supaya, “jangan menyontek Deskripsi Diri orang lain”.  Saya jadi semakin tergelitik ingin mengetahui seperti apa DD, atau Deskripsi Diri yang harus dikumpulkan sebagai bagian dari Portfolio Dosen Yang diSertifikasi tersebut.

Saat mengerjakannya, barulah saya mengerti mengapa mereka getol mengingatkan soal ‘copas’ DD tadi. Ternyata, sulit juga membuatnya, apalagi kalau kita tidak biasa berkontemplasi soal pekerjaan dan karir selama ini. Soalnya, kita lebih sering berkontemplasi mengenai kepribadian dan keuangan ketimbang pekerjaan. Bagi kita, pekerjaan tak lebih ‘kerja supaya dapat uang’, sehingga agak susah meluangkan waktu untuk mengevaluasi usaha kita dalam bekerja.

DD memang sangat berguna untuk mengekslor rekam jejak seseorang sedetil-detilnya. Pertanyaan-pertanyaannya ringkas saja mengenai pembelajaran, riset, pengabdian, pengelolaan institusi dan mahasiswa. Tetapi semua aspek pekerjaan yang dilakukan sehari-hari sudah terwakili di sana. Jika jejak rekam kita tak cukup baik di satu bidang, maka kita akan ngos-ngosan menuliskan esai yang tak boleh kurang dari 150 kata. Lain halnya kalau kita melakukan sebuah aspek pekerjaan dengan baik, maka 150 kata akan terasa sangat kurang karena saya pernah kebablasan menulis sampai 950 kata.

Menurutku, disinilah DD berfungsi sebagai alat pengontrol atau alat muhasabah diri dalam bekerja. Mestinya DD dosen dibuat setiap tahun, bukan sekali saja untuk kegiatan sertifikasi ini. Pasalnya, setelah membuat DD, saya baru menyadari belum melakukan beberapa aspek pekerjaan dengan benar. Ada hal-hal yang dipelajari secara otodidak, mengikuti contoh dari rekan, mendengarkan instruksi atasan, dan berprinsip ‘biar cepat asal selamat’ saja ketimbang mengikuti aturan yang benar. Lewat DD itulah, saya terkesima melihat rekam jejak yang memiliki banyak ketimpangan di berbagai aspek pekerjaan. Sudah jelas hal ini tak bisa dibiarkan. Saya harus memperbaiki DD di masa mendatang, walau tidak diminta secara formal.

Saran saya, DD harus dibuat jauh-jauh hari, minimal sebulan sebelum pengumpulan online. Pembuatannya harus didasarkan pada CV dengan format yang ada di buku ii Pedoman Serdos (dapat diunduh di www.serdos.dikti.go.id). Jika kita punya cukup waktu untuk berkontemplasi, maka DD yang otentik bisa dihasilkan. Permasalahannya, kita sering menunda-nunda pekerjaan penting ini. Saat detik-detik batas waktu pengumpulan menghampiri, dalam situasi tertekan, otak semakin sulit mengingat diri kita. Sebab itu orang menyontek DD milik rekannya walaupun yang diceritakan bukan dirinya sendiri. Lucu!

Kita tak bisa mencontek DD orang lain, selain hal itu ilegal, juga tidak mencerminkan diri sendiri secara jujur. Sehingga ada baiknya tidak membaca DD orang sebelum dibuat untuk menjaga obyektifitas. Meski kita pernah membacanya, kita toh akan kesulitan mengimitasi orang lain. Pasalnya, tiap orang punya pengalaman, prinsip dan kekhasan gaya dalam bercerita tentang dirinya. Asesor yang berpengalaman tentu dapat mengidentifikasi konsistensi gaya menulis seseorang. Lagipula, apa enaknya menyontek DD orang, jika kita bisa membuat DD sendiri yang lebih mantap dan punya kekhasan diri. Seharusnya kita malu untuk menempuh jalan ‘biar cepat asal selamat’ itu, kalau kita sering mengingatkan mahasiswa untuk tidak bertindak demikian.

Pekanbaru,

Tak perlu menunggu inspirasi

Aku memikirkan kata-kata Remy Silado dalam Kompas Minggu, 22 Juli 2012, berikut,

“inspirasi itu diperintah, bukan ditunggu. Kalau menunggu inspirasi, keburu jatuh miskin, haha… Motivasinya harus bekerja. Inspirasi itu cerita tahun 1950-an. Bahan sudah kita lihat dan kita simpat dalam daya kreatif. Sewaktu-waktu perlu kita panggil. Jadi kita perintah, bukan ditunggu”.

Beliau benar.

Menulis itu memang sebuah disiplin, tidak melulu karena dorongan inspirasi. Dan, inspirasi itu datangnya dari pengetahuan yang telah kita kumpulkan berdasarkan bacaan, pengalaman dan pemikiran. Jadi, untuk bisa menulis dengan baik, kita harus banyak-banyak mengumpulkan informasi sehingga terjadi proses kreatif dalam otak kita. Proses tersebut telah pernah saya jabarkan di link berikut ini.

Lebih lanjut lagi, para jurnalis dan penulis ahli menyarankan kita untuk menyimpan inspirasi yang datangnya sering tak diundang. Seringkali inspirasi tiba saat kita sedang berinteraksi atau mengalami sesuatu dalam kondisi tak bertemu laptop. Buku inspirasi bisa menjadi solusinya. Daripada kebingungan mencari inspirasi saat menulis, maka ‘tabungan’ topik inspirasi tadi bisa diutak-atik.

Mengembangkan inspirasi seperti sudah menyelesaikan 25% pekerjaan menulis. Sisanya, tinggal ‘memaksa’ diri untuk terus menuliskannya.

Pekanbaru,