Transformasi Teknik Mengajar

Tiap akhir semester, saya dan teman sejawat cukup deg-degan menunggu hasil pembelajaran mahasiswa di kelas X. Deg-degan itu semakin menjadi-jadi ketika batas kelulusan selalu tak jauh dari tahun sebelumnya. Pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya selalu “harus bagaimana lagi ya?”

Sebagai pengampu mata kuliah X sejak tahun 2002, saya merasa kekurangan ide untuk mengajarkannya. Sebenarnya sudah ada sebuah paper yang pernah saya tulis mengenai inovasi pembelajaran mata kuliah X, tentang pembuatan alat peraga, program Computer Assisted Learning, dan bahan ajar. Sayangnya setelah semua bentuk ‘inovasi’ tersebut dilihat-lihat pada tahun 2012, baru saya menyadari kalau bahan-bahan itu harus diupdate dan teknik mengajar perlu diasah kembali.

Pucuk dicita, ulam tiba.

Setelah mengikuti Pelatihan Pekerti-AA yang diselenggarakan Pusbangdik UNRI pada bulan Juli 2012 lalu, saya diingatkan kembali untuk mengevaluasi beberapa hal. Saya memperbaiki ‘Kontrak Pembelajaran’. Hasilnya menarik, karena semua  mahasiswa pada semester lalu tidak ada yang tidak membawa kalkulator dan peralatan tulis lengkap untuk kuliah atau ujian.

Setelah melakukan proses ‘Rekonstruksi Mata Kuliah’, akhirnya diperoleh beberapa penyebab kuliah X tidak maksimal.

a) Kemampuan Matematika dan Fisika mahasiswa baru tidak diketahui. Kemampuan dasar Matematika dan Fisika sangat diperlukan untuk penyelesaian soal-soal dalam mata kuliah X, tetapi informasi awal level pemahaman mahasiswa malah tidak dimiliki.

b) Konsep mata kuliah X memerlukan pemahaman dan imajinasi tentang arah aliran gaya-gaya yang bekerja pada suatu benda. Tanpa alat peraga, mahasiswa sering kesulitan membayangkan aksi-reaksi yang terjadi saat sebuah benda dibebani.

c) Mahasiswa kurang aktif dan pasif dalam belajar. Sering ditemukan mahasiswa yang mengeluh bahan ajar terlalu konseptual. Padahal, bukankah itu tugas mereka, untuk memecahkan persoalan tersebut? Kemudian, mahasiswa tidak mau aktif bertanya atau mengemukakan pendapat di kelas.

Sedangkan ‘Observasi Microteaching’ yang dilakukan teman sejawat dan tutor dari Pusbangdik diperoleh kesimpulan menarik seperti:

a) Perlu perubahan pembelajaran pasif (Teacher Centered Learning) menjadi pembelajaran aktif (Student Centered Learning)

b) Aspek perencanaan pembelajaran masih lemah karena minimnya interaksi antara mahasiswa dengan mahasiswa

c) Penilaian akhir perlu dibuat rinci, sehingga mahasiswa mengetahui dasar-dasar penilaian agar mereka dapat belajar dengan terukur.

Berdasarkan hasil review tersebut, saya mencoba menerapkan salah satu masukan untuk mata kuliah X pada Semester Pendek 2012/2013 lalu.

Sebelum perkuliahan dimulai, saya membuat panduan kuliah Semester Pendek. Panduan singkat tersebut memuat Kontrak Perkuliahan, Sistem Penilaian, materi per minggu, soal-soal latihan untuk diselesaikan setiap minggu, kisi-kisi UTS dan UAS, serta hasil akhir yang diharapkan. Memang sangat terasa perbedaannya, karena mahasiswa jadi sangat fokus dan berusaha mencapai tujuan yang diharapkan secara konsisten.

Saya cukup puas dengan penerapan satu masukan tadi. Mudah-mudahan Semester Ganjil 2013/2014 nanti, banyak masukan lain bisa dilakukan. Maklum, target saya tingkat kelulusan mata kuliah X tidak ‘mengejutkan’ lagi bagi mahasiswa dan… tentu saja, saya sendiri.

Pekanbaru,

 

 

 

Komunikasi via Email

Sebenarnya tidak mudah memulai sesuatu yang baru. Tetapi setelah setahun lebih melaksanakannya, saya merasa puas dengan strategi andalan ini dalam berkomunikasi dengan mahasiswa.

Pengalaman lama mengajarkan saya tentang rumitnya berkomunikasi dengan mahasiswa lewat telepon genggam. Pertama, waktu berkomunikasi yang tidak tepat, misalnya setelah shalat Subuh atau setelah shalat Isya. Seharusnya mahasiswa tahu bahwa jam kerja hanya pukul 8 pagi sampai 4 sore dan urusan mereka akan direspon pada saat itu. Kedua, cara berkomunikasi yang kurang luwes dan kurang hormat. Saya tidak nyaman kalau mahasiswa berbicara kurang sopan dan bernada menodong seolah-seolah ‘hanya saya sajalah yang belum membuat keputusan’. Ditodong begitu, kok sepertinya saya sangat menyusahkan hidupnya, padahal kalau tidak ada saya pasti ada yang akan menggantikan.

Sewaktu bersekolah di UMIST atau Curtin, saya jarang menelepon dosen atau Profesor secara langsung. Untuk bertanya lebih mudah menggunakan email. Semua tercatat dan mudah ditelusuri kembali. Oleh sebab itu saya memilih menggunakan email mengingat kesantaian, keteraturan dan tercatatnya komunikasi serupa itu. Saya bisa mengirim bahan kuliah secara berkala sebelum perkuliahan dimulai. Pengumuman untuk mahasiswa bisa disampaikan lebih cepat via email tanpa harus datang langsung ke kampus. Selain itu, mahasiswa bisa mendapatkan keputusan dan saran kapan saja tanpa harus menunggu jam kerja esok hari.

Mahasiswa yang melakukan Tugas Akhir merasa cara ini lebih fleksibel. Mereka tidak perlu menunggu berjam-jam sampai saya datang ke kampus hanya untuk bertemu. Mereka boleh mengirim proposal, laporan atau slide presentasi untuk diperiksa. Mahasiswa yang memerlukan saya sebagai penguji juga menggunakan cara ini. Mereka harus belajar menulis email untuk menanyakan kesediaan dan memberikan konfirmasi akhir. Untuk hal ini, saya bertekad melakukan apa yang saja janjikan, yakni insya Allah saya akan datang menguji tepat waktu. Kebaikan dari cara komunikasi via email adalah mahasiswa belajar untuk berkomunikasi secara sopan melalui tulisan, dan belajar ‘organized’ atau mengatur waktu pengiriman email supaya tidak tergesa-gesa saat mengundang saya sebagai penguji.

Sejauh ini saya sangat puas dengan organisasi komunikasi via email meski pada awalnya cukup merepotkan karena mahasiswa tidak terbiasa menggunakan cara ini. Memang harus sabar mengingatkan mereka untuk menulis dengan sopan tanpa singkatan, atau menegur mahasiswa yang terlambat mengundang saya.  Buah manis yang bisa dipetik, semisal saya tidak pernah diganggu telepon oleh mahasiswa, punya waktu fleksibel untuk merespon email sehingga dapat memberikan saran bermutu, maupun dapat diakses kapan dan di mana saja oleh mahasiswa.

Pekanbaru,