Monthly Archives: February 2013

Re-post: Kompetisi dalam Proses Pembelajaran

28 February 2013
Comments Off on Re-post: Kompetisi dalam Proses Pembelajaran

Setelah beberapa tahun berada di Fakultas saat menjalani studi postgrad, saya mengamati beberapa kali dalam setahun, mahasiswa undergrad (S1) akan mengikuti banyak kompetisi. Pada tahun pertama, mereka akan mengikuti kompetisi jembatan yang dibuat dari tangkai es krim. Tahun ketiga akan mengikuti kompetisi membuat beton prategang. Tak jarang ada kompetisi membuat balok jembatan dari beton dengan bahan khusus yang diadakan organisasi profesi seperti Concrete Institute of Australia (CIA, AUS).

Perlombaan yang sering diadakan oleh American Concrete Society (ACI, US), Institution of Civil Engineers (ICE, UK) juga makin meningkatkan trend pengajaran berbasis kompetisi di kampus-kampus. Konsep kompetisi tampaknya akan menjadi kegiatan yang lebih sering dilakukan dalam pengajaran, menurut salah seorang dosen di jurusan. Mereka suka menantang mahasiswa berpikir di luar kebiasaan dengan memberikan kasus-kasus khusus yang aplikatif. Kasus-kasus seperti perancangan campuran beton jenis baru, kestabilan struktur rangka, dan penemuan jenis rangka jembatan paling efisien dan kuat, memang membantu mahasiswa untuk langsung mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam skala kecil.

Kompetisi bisa mempercepat adaptasi mahasiswa tahun pertama dengan memberikan tugas secara kelompok. Pada kompetisi pembuatan jembatan tangkai es krim di tahun pertama, semua anak harus terlibat dalam tim. Keinginan untuk memenangi kompetisi, menjadikan tiap anak aktif bekerja sama dengan teman-teman yang belum mereka kenal. Cara pendekatan seperti ini lebih efektif, karena tiap grup juga harus berkomunikasi karena berbagi timbangan dan alat ukur.

Kompetisi juga mengasah keahlian bekerja sama dengan tim seperti di dunia kerja. Tiap orang harus bisa mengemukakan pendapat mereka di depan anggota tim. Tetapi mereka juga harus dapat menerima saran teman lain jika memang diperlukan untuk kemulusan proses penyelesaian. Tiap orang harus berusaha agar proyek bersama ini dapat selesai. Pada kompetisi pembuatan jembatan beton dengan bentuk paling efisien untuk menahan beban, tim harus membuat desain inovatif. Saya salut melihat keseriusan beberapa teman undergrad yang mencoba merancang jembatan beton paling efisien untuk menahan beban. Mereka dapat mengemukakan konsep-konsep mekanika yang melatari bentuk desain secara praktis. Jika tim tidak bekerja sama dengan baik, memang mustahil mereka dapat menyelesaikan jembatan tadi.

Kompetisi bisa membantu mereka memahami permasalahan konstruksi dalam aplikasi tanpa harus menunggu saat kerja praktek. Saat berkompetisi mereka diberikan batasan khusus agar produk yang mereka rancang berhasil. Untuk memperluas wawasan mereka, selain harus aktif mencari informasi, mereka bisa minta bantuan para dosen dan praktisi penanggung jawab. Pengetahuan mereka yang tadinya hanya bersifat teoretis, lambat-laun akan diperkaya dengan kompetisi bersifat aplikatif tersebut.

Kompetisi mengajarkan bahwa menang bukan segala-galanya, tetapi proses belajar lebih diutamakan. Saya setuju dengan konsep ini. Tujuan akhir adalah ‘mengetahui lebih banyak’, bukan ‘menjadi no 1 atau tiga besar’. Tiap orang mesti berusaha dahulu sebelum bisa mendapatkan sesuatu. Usaha sungguh-sungguh akan bernilai baik, sedangkan usaha setengah hati tentulah jarang yang berhasil. Jika mereka telah berusaha sebaik-baiknya, tetapi tidak menang, setidaknya mereka telah belajar banyak soal adaptasi, kerja sama dalam tim, serta peningkatan wawasan di bidang keahlian mereka. Pada akhirnya, semangat juang dan pantang menyerah yang mereka pelajari dalam kompetisilah yang membuat mereka sukses dalam mengerjakan ‘kompetisi-kompetisi sesungguhnya dalam hidup.

Pekanbaru,

Deadline

15 February 2013
Comments Off on Deadline

Deadline atau batas akhir adalah waktu yang harus dilewati untuk penyelesaian sebuah pekerjaan.

Bagi kita yang tidak disiplin, deadline seperti memberikan ekstra waktu untuk menunda, menarik nafas dan merilekskan diri. Tetapi, bagi orang disiplin, deadline memang sebuah batas waktu agar bisa menyelesaikan semua rencana tepat pada waktunya.

Pola pikir bahwa deadline untuk dilanggar, memang bukan hanya milik saya sendiri. Buktinya, orang-orang seperti saya, biasanya belum akan mengumpulkan sebuah tugas/pekerjaan sebelum hari H-nya. Kami berpikir bawah masih ada sebulan lagi, dua minggu lagi, seminggu lagi, sehari lagi, dan bahkan lebih gila lagi… beberapa jam lagi, misalnya, sehingga tidak pernah merasa urgen untuk mulai mencicil tugas tersebut. Ironisnya, kalau tugas belum selesai, maka waktu berikutnya akan dihabiskan untuk negosiasi sambil menceritakan tragedi deadline supaya ada waktu untuk menarik nafas lalu kembali terbirit-birit menyelesaikan tugas itu. Betapa melelahkannya.

Setuju, perasaan letih itu pasti ada. Tetapi, selain itu ada rasa lain yang muncul di diri setelah pengumpulan, semacam puas dan lega karena bisa mengakali waktu, dengan tetap menyelesaikan pekerjaan. Setelah itu, tanpa bersalah, masih memberi reward pada diri untuk berlibur lama dengan alasan baru saja menyelesaikan pekerjaan berat, padahal sebenarnya baru dikerjakan di batas-batas akhir saat deadline menghampiri.

Sewaktu saya masih sering melakukan hal tersebut, saya tidak menyukai perasaan kurang nyaman karena seperti ‘membohongi diri’ tadi. Saya juga cemas dengan kualitas pekerjaan. Semua yang berbau lastminute.com, mutunya bisa dipertanyakan. Itulah sebabnya, sungguh tidak adil menyalahkan orang lain atau sistem kalau kita mendapat nilai buruk atau tidak menang sesuatu. Coba pertanyakan dulu diri kita, apakah kita sudah maksimal bekerja dalam batas waktu tertentu atau belum maksimal karena baru dikerjakan di saat-saat terakhir saja?

Teknik terbaik untuk melatih diri agar tidak mengalami kesulitan dengan deadline, adalah belajar mengumpulkan pekerjaan/laporan satu hari lebih awal dari deadline. Meski hanya satu hari lebih awal, tetapi efeknya sangat signifikan.

Saat saya memutuskan untuk mengumpulkan laporan tesis satu hari sebelum deadline, masih ada cukup waktu untuk meneliti kembali susunan halaman dan mencetak kembali karena ditemukan warna kertas yang tidak seragam. Tak terbayang rasanya kalau harus dikumpulkan hari itu juga, tetapi saya masih harus melakukan cetak ulang selama 4-5 jam, lalu berlari cepat seperti seekor cheetah ke tempat penjilidan sebelum mereka tutup. Saya cukup tenang karena ada ekstra waktu (well, 24 jam itu ekstra waktu yang cukup banyak loh) untuk mengumpulkan sesuatu. Efek positifnya, ya saya tidak perlu begadang, mengganggu orang, atau memerlukan rehat panjang karena keletihan mengejar deadline.

Coba selesaikan satu hari lebih awal saja dan rasanya bedanya.

Pekanbaru,