Dosen dan Kegiatan Pengabdian Masyarakat (Catatan dari Monev Flipmas Batobo April 2016)

12991082_1407215415961797_7121658394406674433_n

Tridharma Perguruan Tinggi merupakan trilogi kewajiban yang harus dilakukan oleh institusi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 20 Ayat 2) atau Tri Dharma. Oleh karena itu perlu kesadaran bahwa trilogi tersebut tidak berdiri secara mandiri tetapi memiliki keterkaitan erat satu sama lain untuk semua sivitas akademika seperti dosen dan mahasiswa. Pengajaran memiliki tujuan mentransfer pengetahuan dan membuka cakrawala mahasiswa sebenarnya sering diasumsikan sebagai tugas pokok dosen. Padahal kedua kewajiban lain seperti penelitian dan pengabdian masyarakat seharusnya mendapat prioritas sama pentingnya dengan pengajaran. Penelitian bisa dijadikan ujung tombak pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat, karena hasil penelitian dapat mempercepat pengembangan ilmu guna meningkatkan wawasan dosen untuk pengajaran. Hasil penelitian juga dapat membantu perbaikan kesejahteraan dan peningkatan wawasan masyarakat yang masih berada di batas garis kemiskinan dan belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Flipmas Batobo Wilayah Riau sejak dibentuk pada tahun 2012 oleh bapak Padil ST., MT, beranggotakan para akademisi dengan berbagai latar belakang institusi. Flipmas Batobo saat ini telah melakukan berbagai kegiatan di bidang Pengabdian Masyarakat seperti di Kawasan Ekonomi Masyarakat di Batu Bersurat, Kampar dan Bantalan, Tembilahan dengan melibatkan masyarakat seperti petani, peternak dan pedagang yang didukung oleh pemerintah setempat.

Pada tanggal 03 April 2016 di Sekretariat Flipmas Batobo Wilayah Riau, dilaksanakan monitoring dan evaluasi (monev) kinerja Flipmas Batobo. Monev dihadiri oleh para Ketua FI dan FW, dan para profesional pendidik masyarakat (prodikmas). Prof Sundani Nurono Soewandhi (Farmasi ITB) sebagai reviewer Flipmas, memberikan masukan, gagasan dan saran terkait pelaksanaan kegiatan Flipmas Batobo di kedua KEM tersebut.

Kegiatan monev dibuka dengan penjelasan Prof Sundani mengenai ciri khas aktivitas Flipmas yang meliputi a) keikhlasan, b) kebhinekaan, dan kewilayahan. Kegiatan pengabdian yang memiliki dampak besar biasanya tidak hanya bersifat responsif tetapi bersumber dari permasalahan dan kebutuhan masyarakat setempat. Sebab, pengabdian yang berhasil akan tidak hanya mensejahterakan masyarakat tetapi juga membantu mencerdaskan masyarakat. Mengenai kebhinekaan dan kewilayahan, Prof Sundani menekankan keunikan masyarakat Indonesia yang berbasis tradisi dan cenderung mengulangi best practices dari nenek moyang mereka. Apalagi jika di suatu daerah telah terbentuk budaya atau tradisi kuat, maka pola pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan kembali prinsip kearifan lokal akan lebih mudah diterima oleh masyarakat yang terkadang karena intervensi budaya lain telah kehilangan jati dirinya.

Program-program yang berbasis kearifan lokal merupakan daya tarik bagi prodikmas saat bekerja dengan masyarakat. Para prodikmas sebagai perwakilan ilmuwan dari perguruan tinggi di masyarakat memiliki kemampuan nalar menelusuri prinsip-prinsip tersebut melalui penelitian, menerjemahkannya secara ilmiah dan memperkuat implementasinya melalui transfer pengetahuan langsung ke masyarakat. Masyarakat yang telah mengetahui prinsip tersebut tetapi selama ini belum mendapatkan dasar teori ilmiah akan terbuka nalarnya sehingga dapat menggunakan wawasan tersebut untuk mendapatkan hasil akhir yang lebih efektif dan efisien. Kerjasama prodikmas dan masyarakat akan membuahkan hasil berupa peningkatan wawasan, peningkatan kesejahteraaan dan penguatan jati diri masyarakat. Tetapi keberhasilan skema pemberdayaan perlu ditunjang dengan pengetahuan mengenai latar belakang masyarakat dan keunikan atau ciri khas daerah pemberdayaan. Jika masyarakat yang tidak memiliki budaya di tempat baru, contohnya masyarakat transmigrasi, maka usaha tersebut akan memerlukan waktu lebih lama daripada masyarakat yang sudah menemukan keunikan dan keunggulan lokal.

Tim dosen Pro Pengabdian Masyarakat yang ingin aktif berkarya dengan membuat skema-skema pemberdayaan masyarakat aktual dan aplikatif perlu bersinergi dengan pemerintah daerah, ketua masyarakat dan pihak industri melalui dana Corporate Society Responsibility (CSR). Para prodikmas tidak dapat bergerak sendiri melainkan harus bersama-sama dalam tim multidisiplin untuk melakukan proses tersebut. Selain memiliki kemauan, semangat dan kompentensi, untuk membuat kegiatan yang berdampak besar pada masyarakat, prodikmas juga harus melibatkan pemahaman tentang culture/budaya masyarakat yang dibinanya. Untuk itu peran sosiologi yang dapat menjembatani prodikmas dengan masyarakat terasa penting dan akan membantu menjembatani dan mengurangi friksi dengan masyarakat majemuk tersebut. Prodikmas juga sebaiknya meningkatkan people skill, atau keahlian untuk berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai latar belakang dan pendidikan. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari melakukan pengabdian kepada masyarakat lewat program kerja yang efektif dan terukur adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan wawasan prodikmas mengenai masyarakat, peningkatan inovasi di bidang penelitian dengan mengambil kasus-kasus aktual yang terjadi di masyarakat, dan perbaikan pola pikir masyarakat serta terciptanya budaya baru di kalangan masyarakat. Hal ini akan menjadikan pengabdian yang dilakukan berhasil, menurut definisi Prof Sundani, yakni tidak hanya mensejahterakan masyarakat, tetapi juga mencerdaskan masyarakat Indonesia.

Acara monev yang penuh inspirasi dan dorongan untuk lebih menyukai membantu masyarakat tersebut berakhir setelah dua jam sesi ceramah dan diskusi oleh Prof Sundani. Diskusi monev ditutup oleh Ketua FI dengan bijak mengutip kisah Einstein tentang manfaat dan sukses, yakni “Orang yang memikirkan sukses belum tentu memberikan manfaat besar bagi lingkungannya. Sedangkan orang yang bermanfaat bagi banyak orang, maka sukses biasanya akan menyertai”.

Pekanbaru,

Written by Monita Olivia

Prodikmas

Post ini sudah dilaunch di http://www.flipmas-batobo.org/2016/04/dosen-dan-kegiatan-pengabdian-kepada.html

Kolaborasi Internasional FT UR dengan Universitas di Jepang

Kolaborasi internasional di Fakultas Teknik pada tahun 2015 merupakan tindak lanjut dari penandatanganan MOU dengan Faculty of Engineering University of Miyazaki di tahun sebelumnya. Pada bulan Oktober 2015, tim yang terdiri dari Dekan FT UR, Koordinator Prodi Magister Teknik Sipil UR, dan dosen MTS UR melaksanakan perjalanan ke tiga universitas di Jepang, yakni University of Miyazaki, Saga University dan Yamaguchi University.

Pertemuan dengan pihak Fakultas Teknik University of Miyazaki dihadiri oleh Dekan, pimpinan unit, profesor, dosen, dan Prof Murakami sebagai wakil ketua Kantor Urusan Internasional FT UOM. Pada saat itu dipresentasikan rencana pembukaan Double Degree Program (DDP) antara MTS FT UR dan Master Program in Civil Engineering OUM. Kedua belah pihak sepakat untuk melaksanakan kegiatan tersebut pada tahun 2017. Kami juga mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Vice Rector I UOM tentang berbagai peluang kolaborasi yang dapat dilaksanakan dengan Universitas Riau. Selain bertemu pimpinan universitas, kami mengunjungi project coastal di Miyazaki dan sekitarnya.

Kunjungan berikutnya ke Saga University untuk menemui Prof Arai di Faculty of Engineering. Setelah melakukan presentasi mengenai UR dan hasil riset terkini mengenai mitigasi bencana asap, Dr Ari dan Dr Sigit berpeluang melakukan kerja sama riset dengan Prof Arai. Sebelum kunjungan berakhir, kami sempat berdiskusi dengan Dekan Faculty of Engineering Saga University mengenai kemungkinan pelaksanaan MOU dengan Saga University pada tahun 2017. Beberapa tempat menarik di kota Saga sempat dikunjungi seperti Saga Castle dan Municipal Building untuk melihat pemandangan Saga dari tempat paling tinggi di kota itu.

Perjalanan ke Yamaguchi University dipandu oleh Sensei Yamamoto, kawan lama kami yang sering berkunjung ke Bengkalis, Riau. Setelah bertemu dengan Dekan Fakultas Teknik YM untuk diskusi mengenai potensi kolaborasi riset dan kerjasama, kami diantar untuk melihat-lihat kampus, mendengarkan presentasi mengenai riset sensei Yamamoto di Bengkalis dan makan siang di kafe kampus. Siang itu setelah shalat Dzuhur,  Prof Adrianto (Dekan FT UR), Dr Ari dan saya akan memberikan kuliah umum di depan mahasiswa dan dosen Faculty of Engineering YM. Terus terang inilah pengalaman pertama saya berbicara mengenai riset material untuk lahan gambut di luar negeri. Saya berharap lebih banyak kesempatan serupa untuk belajar memaparkan riset dan menarik minat kolaborasi mengenai bidang ini.

Setelah mengunjungi ketiga universitas tersebut, ada beberapa hal yang bisa dipelajari a) persiapan matang merupakan kunci efektivitas kerja sama, b) data lengkap dan akurat mengenai universitas perlu diperbarui secara teratur, c) lain padang lain belalang, kita harus bisa tepat waktu mengikuti jadwal mereka, d) eksekusi kegiatan dilaksanakan sesegera mungkin untuk tetap menarik minat kolaborator, e) agar kolaborasi internasional berhasil dengan baik, maka perlu melibatkan lebih banyak stakeholder dan unit kerja di universitas sendiri.

Pekanbaru,

Alumni Sharing Session to Australia Awards PhD Awardees

Jakarta, 22 Oktober 2015

Undangan untuk berbagi pengalaman saat PhD mendadak datang dari PostAwards Officer, mbak Rosi dan mas Danny di Australia Awards Indonesia. Saya tetap berpikir positif saja meski sedikit nervous karena pengalaman studi PhD kala itu banyak drama daripada lancar dan senangnya. Didorong keinginan kuat untuk berbagi, saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, Bismillah, saya datang ke kampus IALF di Plaza Kuningan, Menara Selatan, Jakarta.

Di kantor sudah menunggu  Prof Brian, bu Catharina dan pak Agus. Pak Agus, teman lama di Curtin, juga akan berbagi kisah inspiratif beliau selama PhD. Saya tidak heran mendengar succes story beliau, karena memang sukses sekali dan berhasil menjadi salah satu seleb Australia Awards Indonesia saat ini.

Untuk sharing session ini kami diwanti-wanti agar menceritakan masalah selama PhD dan apa yang telah kami lakukan untuk mengatasinya. Pak Agus berbagi tentang pengalaman jatuh-bangun selama studi sampai akhirnya beliau mendapatkan award pertama untuk risetnya. Kesuksesan terus berlanjut hingga beliau mendapat Habibie Award untuk riset beliau bagi masyarakat di Gunung Kidul yang kesulitan mendapatkan air bersih. Beliau menunjukkan sikap pantang menyerah meski harus berkutat dengan hal-hal tak disangka dan harus bekerja mandiri untuk catch up dengan waktu yang diberikan donor beasiswa.

Saya hanya berbagi informasi mengenai masalah akademik dan adaptasi budaya. Beberapa masalah akademik yang sering dihadapi mahasiswa Indonesia adalah kemampuan riset dan hubungan mahasiswa-pembimbing. Kemampuan riset seperti paraphrasing/summarizing, writing, dan academic presentation mestinya sudah dimiliki, tetapi baru dipelajari di tahun-tahun awal studi. Akibatnya banyak mahasiswa yang tersangkut kasus plagiarism, terlambat menulis atau mempublikasikan risetnya. Sedangkan masalah dengan pembimbing, biasanya terkait komunikasi, personality clash, pembimbing tidak berpengalaman, terlalu sibuk, atau pembimbing tidak punya waktu untuk kita.

Masalah budaya ternyata cukup berat bagi beberapa orang yang belum pernah tinggal di budaya berbeda. Mereka biasanya mengalami gegar budaya setelah melihat perbedaan-perbedaan yang kurang mengena di budaya lama. Tetapi kemampuan adaptasi budaya yang cepat, seperti langsung berintegrasi dengan budaya lokal dan bisa menginterpretasikan budaya lain dengan mudah, akan membantu proses tersebut tanpa perlu terlalu lama menderita.

Prof Brian setuju saya menyinggung tentang isu Reversed Culture Shock, sebab masa untuk beradaptasi kembali sering terasa lebih menyulitkan daripada menerima budaya baru. Ada beberapa tips untuk smooth adjustment yang saya paparkan, diantaranya berusaha memahami bahwa tidak hanya diri sendiri yang berubah, tetapi orang lain juga berubah, serta mau bersabar karena semua orang perlu waktu untuk merasa nyaman satu sama lain. Untuk tips lengkapnya, bisa dilihat di post berikut.

Saya merasa senang bisa berbagi tips dengan mereka. Semoga suatu hari bisa berbagi lagi.

Jakarta,

 

Stuban Kampus

Ini hobi baru kami: saya dan suami, yang notabene ide murni dari suami.

Tiap mengunjungi sebuah kota untuk konferensi atau berlibur, kami berdua tidak lupa mampir ke kampus sebuah universitas di sana, khususnya laboratorium Jurusan Teknik Sipil. Tujuannya hanya ingin studi banding kecil-kecilan mengenai suasana akademik di kampus, perpustakaan, alat-alat di laboratorium, taman dan high-end tecnology yang mereka miliki.

Sebenarnya ada beberapa tempat yang kami incar untuk stuban:

Pertama, ruang jurusan dan laboratorium Teknik Sipil. Untuk tempat-tempat seperti ini, kunjungan kami bersifat semi formal. Kalau ada waktu kita minta izin kepada staf yang ditemui saat konferensi. Biasanya mereka akan menyediakan staf/teknisi/mahasiswa riset untuk mengantar kami berkeliling lab dan ruang kelas. Tetapi kalau tidak ada yang kami kenal di suatu kampus, kami mampir sekedarnya di lab-lab Teknik Sipil. Percaya diri saja, menyamar sebagai mahasiswa yang masuk lab. Kita bisa melihat jenis-jenis alat, tipe sampel dan kelengkapan lain yang belum dimiliki. Kalau lab sedang ditutup, kami tidak kehilangan akal. Karena saya seorang peneliti di bidang teknologi beton, maka dengan suka cita saya akan berkeliling tempat pembuangan/tempat parkir ‘sampah riset’ di dekat lab. Dengan demikian saya dapat mengamati berbagai tipe sampel yang telah selesai diuji. Biasanya sampel-sampel demikian hanya dapat dilihat di jurnal atau majalah ilmiah.

Kedua, perpustakaan dan toko buku di kampus. Kunjungan ke perpustakaan selalu menjadi bagian paling menarik. Saya kagum dengan konsep perpustakaan yang harus nyaman dan tidak kaku. Beraneka sofa warna-warni, lantai berlapis karpet tebal, benda-benda seni maupun benda kuno ditata dengan indah di dalamnya seperti di Univ of New South Wales, Sydney. Jurnal dan majalah terbaru terpajang di rak-rak yang bebas diakses semua orang. Pengunjung tidak dibatasi karena perpustakaan universitas di Australia tergolong perpustakaan umum. Tidak perlu menitipkan tas, karena mereka menggunakan security gate di depan pintu masuk perpustakaan. Tempat menarik lain adalah toko buku kampus. Tidak hanya menawarkan buku-buku teks dan alat tulis, tempat ini juga punya buku-buku penulis dari kampus sendiri. Persis di toko buku biasa, buku-buku yang tengah sale juga menjadi incaran mahasiswa dan saya.

Ketiga, suasana akademik. Sebenarnya cukup sulit menilai parameter abstrak ini kalau tidak jeli. Pengumuman mengenai riset, hasil riset, proyek yang sedang berjalan, seminar, konferensi dan lain-lain yang berhubungan dengan kegiatan akademik terdokumentasi sangat rapi. Saya paling semangat melihat pengumuman list paper yang dihasilkan para staf pada tiap semester. Semua orang bisa membaca halaman depan paper tersebut dengan mudah, karena ditempel dalam papan berkaca.

Seminar-seminar rutin internal bertebaran di mana-mana. Inilah yang saya rindukan! Seminar-seminar gratis dari para staf pengajar dan Profesor tersebut sangat berguna untuk memperkaya sudut pandang saya tentang hal-hal di luar disiplin ilmu Teknik Sipil.

Selain itu, untuk meningkatkan suasana akademik, di tempat-tempat tertentu disediakan ‘common room’, untuk staf dan mahasiswa beristirahat, belajar dan makan siang. Suasana akademik yang baik juga diukur dari kemudahan akses internet di pojok kampus. Tanpa perlu berkumpul di perpustakaan, mahasiswa dapat mengakses informasi tak kenal ruang dan waktu.

Fasilitas lain yang superb, menurut saya adalah fasilitas olah raga di kampus. Kampus Curtin membanggakan gym yang sangat besar. Sedangkan kampus Univ Utara Malaysia memiliki track gokart dan lapangan golf sendiri. Kampus-kampus di tepi air seperti Univ of Western Australia boleh membanggakan fasilitas olah raga air, yang tidak jauh beda dengan arena rowing (kayaking) di George River, Cambridge.

Keempat, high-end technology. Pelan-pelan kami mulai mengenali tempat-tempat dengan high-end technology di lingkungan kampus. Beberapa contoh menarik misalnya solar panel untuk tenaga listrik surya di beberapa kampus. Di kampus Harvard, Boston, malah dipasang catatan penggunaan energi listrik yang digunakan di kampus saat itu juga dan jumlah penghematan energi yang dihasilkan lewat layar LCD. Gedung-gedung baru yang dibangun lewat kerjasama universitas dan industri dengan fasilitas high-end banyak mewarnai kampus-kampus tersebut. Tidak terbayang jenis-jenis peralatan yang ada di dalamnya, karena mayoritas disumbangkan langsung oleh pihak industri.

Terakhir, kami akan menikmati taman dan kebun sayuran di kampus. Area demikian sangat menyenangkan untuk membaca, mengerjakan pe-er, atau makan siang karena sangat bersih dan tertata dengan baik. Di bawah pohon dan pergola selalu ada bench, tempat duduk kayu yang berat, untuk duduk-duduk. Di taman-taman juga dipasang public art yang mengesankan. Misalnya saja patung Archimedes di bawah track Manchunian Way di UMIST, Manchester. Soal kebun sayur di dalam kampus? Well, kini saya sering melihat kebun sayur dikembangkan di taman kampus. Di depan gedung Start-Up, kampus Curtin Univ, Perth, dapat diamati tanaman seperti strawberry, brokoli, rubharb, celeriac yang selama ini belum pernah dilihat langsung.

Pekanbaru,

Kunjungan ke Key Laboratory of Advanced Civil Materials of Ministry Education, Tongji University, Shanghai

Saat mengikuti ASPIC 6 (Asian Symposium on Polymers in Concrete) 2009, di Tongji University, Shanghai, saya sempat mengunjungi salah satu laboratorium bahan. Sebagai catatan, ASPIC 6 adalah symposium tiga tahunan tentang beton polimer untuk mendiskusikan perkembangan dan teknologi terbaru untuk aplikasi bahan ini. ASPIC 6 disponsori oleh RILEM (International Union of Laboratories and Experts in Construction Materials, Systems and Structures), (www.rilem.org).

Laboratorium Advanced Civil Materials merupakan salah satu lab yang dibangun di Universitas Tongji pada tahun 2005 dengan bantuan Kementerian Pendidikan China. Lab tersebut dilengkapi dengan 19 peralatan laboratorium yang harganya sekitar RMB 500.000 atau sekitar Rp 750.000.000 per unit. Hingga kini, lab itu menjadi tempat riset untuk melaksanakan penelitian dan proyek-proyek yang didanai oleh berbagai kementerian di China. Riset-riset mengenai bahan baku semen, bahan komposit, bahan-bahan ramah lingkungan serta penelitian mengenai kinerja dan karakteristik bahan dilakukan oleh sekitar 24 orang profesor dan 37 orang staf dosen dengan melibatkan 300 orang postdoctoral dan mahasiswa pasca sarjana.

Saya agak ragu-ragu sewaktu Dr X, seorang staf postdoktoral wanita, mengatakan ingin memboncengi saya menggunakan sepedanya. Sepeda memang alat transportasi paling praktis di China, termasuk untuk keperluan di kampus. Padahal jarak lab tidak terlalu jauh dari tempat simposium, tetapi Dr X memaksa saya mencoba moda transportasi khas itu. Ternyata memang menyenangkan naik sepeda dari satu tempat ke tempat lain di kampus Tongji!

Awalnya saya diajak ke sebuah gedung berlantai dua yang tampak kusam berdebu. Saya tidak heran dengan penampilan gedung yang saya nilai tidak secerah gedung kampus di Australia. Pasalnya, tingkat polusi di kota Shanghai sudah pada taraf memprihatinkan. Semua bangunan jadi seperti memakai bedak putih. Meski begitu, saya tetap berpikir positif bahwa di balik penampilannya yang kurang menarik, maka kita tak boleh meremehkan isi labnya.

Ternyata dugaan saya benar. Baru di lantai dasar saja, saya sudah tertarik melihat riset mereka. Dr X menunjukkan sebuah model dinding bercat merah yang dipenuhi tempelan keramik. Menurutnya, tempat itu merupakan tempat tes untuk menempelkan mortar jenis baru. Tujuannya, untuk mengecek tekstur, kemudahan pengerjaan, arah aplikasi dan waktu ikat dari mortar saat digunakan keramik ditempel ke dinding.  Ini riset yang menarik. Kita akan menggunakan keramik untuk menjaga dinding agar tidak mudah kotor atau rusak, sehingga bahan ikat yang kuat, mudah kering dan tidak cepat retak sangat dibutuhkan.

Sebuah dinding yang dibangun di belakang dinding tempelan keramik tadi ternyata untuk riset ‘energy efficient wall’ yang sedang menjadi trend saat ini. Inti riset ini adalah untuk membuat dinding yang dapat menstabilkan suhu di musim panas maupun musim dingin, sehingga penggunaan energi untuk pendingin maupun pemanas ruangan dapat ditekan.

Beberapa saat kemudian kami memasuki beberapa ruangan lab untuk bahan-bahan konstruksi teknik sipil seperti tanah, mortar, dan beton. Aneka peralatan lab dan asesorisnya tersusun dengan rapi di dalam lab. Beberapa pekerjaan seperti menguji kekuatan keramik, pori bata, rembesan mortar, korosi baja, tarik baja, kekuatan suhu tinggi baja, durabilitas beton dan lain-lain bisa langsung diamati di sana. Semua peralatannya kecil-kecil dan kegiatan mereka sangat menyenangkan untuk dilihat. Rasanya ingin punya lab sebagus itu di Universitas Riau.

Saya menunjuk pada beberapa bebek keramik berwarna putih yang baru dikeluarkan dari cetakan.  “Apakah ini bagian dari riset juga?” tanya saya kepada Dr X. Dr X dan teknisi yang sedang berada di situ tertawa lebar. Bebek-bebek dari keramik tersebut dibuat oleh para teknisi di waktu luang mereka untuk dijual. Bebek itu dicat berwarna-warni dan siap dipasarkan di toko souvenir.

Kami berkeliling sebentar untuk melihat alat-alat lain. Dr X dengan bersemangat menjelaskan kegunaan tiap alat dan data yang diperoleh dari pengujian. Saya bisa melihat uji shrinkage yang sampelnya diberi beban. Biasanya saya melakukannya pada benda yang tidak dibebani. Uji seperti ini sudah mengarah pada keadaaan sebenarnya di lapangan. Lab mereka punya tiga set alat uji permeabilitas. Lebih banyak dari alat yang dimiliki GHD/SGS di Perth tempat saya mengerjakan sebagian riset.

Hal yang paling menyenangkan bagi saya saat itu, yakni pada akhirnya saya dapat melihat langsung alat Freezing-Thawing, sesuai dengan standard ASTM C666 (Standard Test Method for Resistance to Rapid Freezing and Thawing). Pengujian ini sulit ditemukan di Australia karena jarang terpakai. Pengujian ini menggunakan sebuah peti freezing-thawing besar yang dapat memuat 10-15 sampel. Beton diuji untuk menentukan ketahanannya akibat siklus freezing-thawing berulang. Siklus freezing-thawing biasanya terjadi di negara empat musim dengan cuaca panas-dingn ekstrim. Pengaruh suhu ekstrim berulang tersebut akan mengurangi kekakuan dan merusak pori-pori beton. Sampel yang telah dimasukkan dalam peti freezing-thawing, lalu diuji sifat elastis dan porositasnya.

Sesuai janjinya tadi, Dr X memperlihatkan beton geopolimer dari slag yang dibuatnya untuk riset. Kami sama-sama membuat beton geopolimer, tetapi saya membuat sampel berbahan dasar abu terbang. Permukaannya sampel miliknya lebih halus dan kelihatannya lebih kedap air. Meskipun beberapa lubang terlihat di sana, tetapi hasil penelitian mereka jauh lebih menjanjikan untuk aplikasi langsung. Cukup lama juga kami berdiskusi mengenai hasil riset beliau dan saya. Ia memberikan banyak saran untuk memperbaiki kinerja beton saya. Menurut Dr X, hasil risetnya itu telah dipublikasikan di jurnal ASCE. Ia bilang, saya pasti bisa menuliskan artikel yang bagus untuk publikasi juga. Sungguh manis, dia.

Ah, sepertinya saya harus bergegas pulang ke Perth, untuk memperbaiki kinerja beton geopolimer itu dan menuliskan hasilnya di paper bagus juga.

 

Pekanbaru,

Lab Teknologi Beton Universitas Ho Chi Minh, Saigon, Vietnam

Rasanya tak lengkap datang ke suatu kota tanpa mengunjungi laboratorium di universitas kota tersebut. Hal itulah yang memotivasi kedatangan kami ke laboratorium teknologi bahan Universitas Ho Chi Minh, Saigon, Vietnam setelah mengikuti konferensi ACF/VCA-2008. Setelah mendapatkan ijin berkunjung dari Assoc Prof Nguyen van Chanh, informasi transportasi dan lokasi lab tersebut, saya dan suami mendatangi Universitas Ho Chi Minh keesokan harinya. Kunjungan ke lab ini selain menjadi persyaratan dari pihak sponsor (kampus Curtin University, Australia), juga merupakan kesempatan bagus bagi saya yang sedang mendalami bidang teknologi beton. Tujuan saya hanya satu, untuk melihat beton geopolimer yang telah dikembangkan oleh laboratorium tersebut. Ternyata beton geopolimer tidak kalah pamor di Vietnam, seperti di Australia, mereka giat mengembangkan jenis beton tanpa semen ini. Dari hasil presentasi Prof van Chanh saat di konferensi, beton geopolimer yang mereka hasilkan akan diaplikasikan untuk paving block.

Gedung lab beton itu mengingatkan kami pada lab di kampus Unri. Berbagai gundukan material terletak di depannya. Berkarung-karung manure babi tersusun rapi di dekat tembok lab. Ternyata kotoran hewan tersebut jika dibakar kembali akan menghasilkan semacam abu terbang yang kaya kandungan silika. Sebuah penelitian pemanfaatan abu kotoran sapi, uniknya menemukan peningkatan kuat tekan awal beton pada umur 3 hari. Setelah itu kuat tekan mulai turun, apalagi jika beton diisi kebanyakan dengan abu dari kotoran! Kadang kotoran digunakan sebagai tes media untuk uji ketahanan beton dalam kondisi asam. Kotoran hewan memiliki pH yang sangat rendah karena mikroorganisme dalam kotoran memproduksi asam asetat dan laktat. Penelitian seperti ini umum dilakukan untuk bangunan di daerah pertanian yang rentan terkena kotoran hewan. Beton mudah terkorosi dalam kondisi ekstrim tersebut, sehingga keropos  membuat tulangannya mudah berkarat. Informasi lebih lanjut soal bangunan di daerah pertanian akan saya tuliskan suatu hari nanti.

Prof van Chanh langsung mengenalkan kami kepada para staf serta mahasiswa post grad beliau. Karena ada profesor dari Sydney datang bertamu saat itu juga, maka saya dan suami diajak berkeliling oleh seorang staf yang telah saya kenal di konferensi. Beberapa orang mahasiswapun tak lama malah ikut bersama rombongan kami. Kami melihat beberapa mahasiswa yang sedang mencampur beton geopolimer untuk riset tesis mereka. Benarlah kalau abu terbang untuk beton tersebut warnanya sangat gelap. Tidak seperti di Australia, abu terbang yang mereka gunakan terlihat lebih gelap, menandakan kandungan karbon yang cukup tinggi. Kandungan karbon yang tinggi tidak baik untuk reaksi geopolimer, karena karbon cenderung membentuk ikatan lemah antara partikel sehingga terbentuk semacam beton getas.Mereka memakai campuran NaOH dan sodium silikat untuk larutan aktivator. Metode pembuatan tidak berbeda dengan yang saya gunakan. Hanya saja mereka membuat sampel kecil-kecil, tentu saja dengan agregat berukuran lebih kecil. Hebatnya lagi, sepertinya beton yang mereka hasilkan memiliki workability yang lebih bagus dari beton produksi saya. Terus terang, saya cukup penasaran dengan komposisi yang mereka gunakan.

Laboratorium beton tersebut juga dilengkapi alat-alat untuk menguji sampel yang kecil. Berbagai fasilitas seperti uji kuat lentur, kuat tekan dan serta steam curing benar-benar ada untuk sampel mini. Saya pikir, fasilitas seperti itu sangat membantu mahasiswa untuk riset tanpa harus bekerja keras membuat puluhan sampel besar berukuran standar. Pantaslah mereka terlihat sangat antusias mengerjakan berbagai pekerjaan riset di sini, saya tersenyum dalam  hati. Tidak bisa dibandingkan dengan skala pekerjaan pembuatan beton di lab Curtin. Sambil setengah iri, saya membayangkan lab penuh alat-alat seperti itu di Unri. Sampel berukuran kecil selain hemat waktu, sudah tentu hemat biaya. Mahasiswa tidak perlu membuat adukan percobaan (trial mix) dengan sampel berukuran besar. Jika hasil sampel mini sudah memenuhi kriteria rancangan, maka pembuatan sampel berukuran besar bisa dilaksanakan dengan hasil yang tidak terlalu berbeda.

Berbagai fasilitas dan tipe beton yang dihasilkan sempat dipamerkan para pemandu wisata kami tersebut. Peralatan yang mereka gunakan banyak juga yang berasal dari Eropa. Tampaknya riset di lab tersebut berorientasi pada kebutuhan industri di Vietnam. Terbukti dengan banyaknya hasil penelitian dan pekerjaan yang digunakan untuk berbagai proyek di kota Saigon. Laboratorium di universitas sudah selayaknya  menjadi tempat awal perancangan dan penelitian karakteristik beton untuk berbagai tipe aplikasi lapangan. Riset yang dilakukan pasti jauh lebih efektif karena memang dibutuhkan dan dapat diaplikasikan. Jenis-jenis beton produksi lab tersebut termasuk hasil riset yang hanya pernah saya baca. Maklumlah, pengetahuan saya di bidang teknologi beton kan masih seperti balita, sehingga begitu diperlihatkan beton serat besi dengan kanduang sangat tinggi, saya tertarik sekali. Jenis beton ini sebenarnya telah banyak digunakan di negara Jepang dan Australia. Penggunaan serat yang sedemikian banyak selain untuk meningkatkan kuat tekan, kuat tarik, kuat lentur, juga  mengurangi resiko retak akibat perubahan suhu, meningkatkan ketahanan korosi dan memiliki ikatan antar pasta yang lebih baik.

Ada pula beton styrofoam yang berlubang-lubang dibuat untuk mengurangi densitas, seperti layaknya beton ringan. Beton seperti ini umumnya dibuat untuk produk non struktural seperti pot, pagar, kursi taman. Mereka juga membuat beton pervious, yang memiliki kandungan aggregat tinggi dengan sedikit mortar. Jenis beton ini telah mendapat tempat dalam aplikasi pavement untuk jalan, karena porositas yang tinggi sehingga dapat dilalui air dan tidak mengganggu lingkungan seperti perkerasan jalan dengan beton padat.

Para mahasiswa tersebut sangat bersemangat menerangkan dalam bahasa Inggris berlogat Vietnam tentang apa saja kepada saya dan suami. Tiap alat, tiap sampel, cara pengujian, semua diperlihatkan dan diterangkan kepada kami. Sebagai tamu jauh, saya dan suami senang sekali dengan keramahan dan sikap antusias para mahasiswa tersebut. Mereka tidak malu saling membantu mengingatkan jika ada yang lupa dengan kosa kata dalam bahasa Inggris.  Tiap orang seperti ingin berbagi pengetahuan mereka tentang riset di lab. Mereka pun mengingatkan saya pada grup Research Club yang pernah ada di jurusan kami. Betapa inginnya saya melihat kembali para mahasiswa yang pernah bergabung di sana, saling bekerja sama dalam penelitian dan membantu dalam penyelesaian laporan. Yah, persis seperti di lab beton ini.

Menarik juga mendengarkan berbagai riset yang telah mereka lakukan di laboratorium itu, ya.

Perth,

Bagi rekan yang menginginkan paper Prof Nguyen van Chanch, dapat dibaca pada link berikut ini.