When Being Competitive is Counterproductive

I’m not trying to sound like any post at blogs.hbr.org.

But, I like to emphasize that the competitive mind-set is a classic problem in life. However,  when I did my PhD, I learned a lot about the advantage of networking and collaboration in pursuing my final goal. I got a lot of supports during the journey from various sources since I tried to be open minded about other people’s contribution.

Life is full of passion and desire on many physical and emotional things. We also want to be recognized from our success. This causes us to work hard and try to reach any possible opportunities in pursuing our dreams. Sometimes we look around us and cannot control our negative feelings towards other people’s achievements. Then we trap into such a feeling, ‘if he/she could do it, why I couldn’t do it too?’  The notion that could boost our emotions and adrenaline to move faster than anyone. Hence, we just want to be known eventually, that we are as good as them.

It is a normal to compete with other people.
But, when it is just for a recognition and approval from other people, then you’re misleading.

Then, we are suggested to change the mind-set in order to gain more results.
A noble/high aim needs big energy and sources. 
A single success is normally short term and far from prominent output.

Take a look a professional sports player, for example. If someone is very successful as a single player in one sport tournament for a long time, he/she must have a great team behind him/her. A simple example is the Formula One driver. He has enormous supports during the race or outside the race. He needs a fast, accurate and reliable team to help him to win every race in a season.

Adopting the same approach on working in a big project, could help us to save time and energy while guarantee collective success for every person in a team. I think this is the best part.

In particular for the environment with limited resources, it is advisable for each person to start collaboration than being a purely competitive. According to Tina Seelig (2009) in ‘What I Wish I Knew When I was 20’:

“Where there are limited resources, being driven to make yourself and others successful is often a much more productive strategy than being purely competitive. Those who do this are better able to leverage the skills and tools that others bring to the table, and to celebrate other people’s successes along with their own.”

Then, to valuate our sources and admit our limitations is imperative to create something excellent in the long run. We need to reduce our ego and start to include other people in our efforts than compete with them, because it is counterproductive.

Pekanbaru,

Komunikasi via Email

Sebenarnya tidak mudah memulai sesuatu yang baru. Tetapi setelah setahun lebih melaksanakannya, saya merasa puas dengan strategi andalan ini dalam berkomunikasi dengan mahasiswa.

Pengalaman lama mengajarkan saya tentang rumitnya berkomunikasi dengan mahasiswa lewat telepon genggam. Pertama, waktu berkomunikasi yang tidak tepat, misalnya setelah shalat Subuh atau setelah shalat Isya. Seharusnya mahasiswa tahu bahwa jam kerja hanya pukul 8 pagi sampai 4 sore dan urusan mereka akan direspon pada saat itu. Kedua, cara berkomunikasi yang kurang luwes dan kurang hormat. Saya tidak nyaman kalau mahasiswa berbicara kurang sopan dan bernada menodong seolah-seolah ‘hanya saya sajalah yang belum membuat keputusan’. Ditodong begitu, kok sepertinya saya sangat menyusahkan hidupnya, padahal kalau tidak ada saya pasti ada yang akan menggantikan.

Sewaktu bersekolah di UMIST atau Curtin, saya jarang menelepon dosen atau Profesor secara langsung. Untuk bertanya lebih mudah menggunakan email. Semua tercatat dan mudah ditelusuri kembali. Oleh sebab itu saya memilih menggunakan email mengingat kesantaian, keteraturan dan tercatatnya komunikasi serupa itu. Saya bisa mengirim bahan kuliah secara berkala sebelum perkuliahan dimulai. Pengumuman untuk mahasiswa bisa disampaikan lebih cepat via email tanpa harus datang langsung ke kampus. Selain itu, mahasiswa bisa mendapatkan keputusan dan saran kapan saja tanpa harus menunggu jam kerja esok hari.

Mahasiswa yang melakukan Tugas Akhir merasa cara ini lebih fleksibel. Mereka tidak perlu menunggu berjam-jam sampai saya datang ke kampus hanya untuk bertemu. Mereka boleh mengirim proposal, laporan atau slide presentasi untuk diperiksa. Mahasiswa yang memerlukan saya sebagai penguji juga menggunakan cara ini. Mereka harus belajar menulis email untuk menanyakan kesediaan dan memberikan konfirmasi akhir. Untuk hal ini, saya bertekad melakukan apa yang saja janjikan, yakni insya Allah saya akan datang menguji tepat waktu. Kebaikan dari cara komunikasi via email adalah mahasiswa belajar untuk berkomunikasi secara sopan melalui tulisan, dan belajar ‘organized’ atau mengatur waktu pengiriman email supaya tidak tergesa-gesa saat mengundang saya sebagai penguji.

Sejauh ini saya sangat puas dengan organisasi komunikasi via email meski pada awalnya cukup merepotkan karena mahasiswa tidak terbiasa menggunakan cara ini. Memang harus sabar mengingatkan mereka untuk menulis dengan sopan tanpa singkatan, atau menegur mahasiswa yang terlambat mengundang saya.  Buah manis yang bisa dipetik, semisal saya tidak pernah diganggu telepon oleh mahasiswa, punya waktu fleksibel untuk merespon email sehingga dapat memberikan saran bermutu, maupun dapat diakses kapan dan di mana saja oleh mahasiswa.

Pekanbaru,

Seminar Internasional ‘Sustainability in Concrete Technology and Construction’

Ibu/bapak yth,Sebagai bagian dari perayaan Dies Natalis Prodi Sipil UK Petra ke 51,
kami berencana menyelenggarakan seminar ‘Sustainability in  Concrete
Technology & Costruction’, pada:

Hari, tanggal : Rabu, 18 September 2013
Tempat        : Auditorium UK Petra
Waktu        : 08.00-17.00

Pembicara utama dalam seminar ini adalah:
1. Prof. Koji Sakai (Kagawa University, Jepan)
2. Prof. Takafumi Noguchi (Tokyo University, Jepan)
3. Prof. DongUk Choi (Hankyong National Uni, Korea)

Selain itu juga ada presentasi/sharing dari beberapa industri dengan
tema ‘How a Concrete (or related) Industry can contribute to a more
sustainable society’

Bersama ini saya kirimkan flyer dari seminar tersebut, silakan dicetak
bila memerlukan. Mohon bantuan untuk meneruskan informasi ini ke relasi
ibu/bapak.

Demikian, untuk perhatian yang diberikan saya ucapkan terimakasih.

Salam,
Panitia

Informasi Konferensi Internasional

Untuk mengetahui informasi konferensi internasional yang akan berlangsung termasuk Call for Paper (undangan pengumpulan naskah), maka dua situs berikut sangat berguna. Gunakan fitur ‘search’ untuk memfilter bidang konferensi sesuai keinginan.

www.conferencealerts.com

www.wikicfp.com

 

Repost: A dedicated Dr IC

Tulisan ini pernah dipost pada blog ini.

Lelaki separuh baya bertubuh besar, tinggi, berambut putih, dan bersuara menggelegar itu memberi perintah sana-sini. Walaupun tengah berbicara dengan teknisi, dengan bahasa Inggris yang terlalu cepat tetapi terdengar mantap, sekali-sekali ia memberi petunjuk pada kerumunan mahasiswa di depannya.

Beberapa bulan setelah saya selesai studi literatur, Dr IC mendapat kesempatan untuk membaca proposal saya. Menurutnya, banyak hal yang harus diperbaiki walaupun proposal itu sendiri sudah ‘readable’. Ia bukan pembimbing utama, tapi hanya sebagai Associate Supervisor. Saya hanya bisa menerima komentarnya tanpa banyak protes, karena riset memang hal baru bagi saya. Disamping itu Dr IC adalah sesepuh dosen Struktur di Jurusan, so, hitung-hitungan cepat mengatakan bahwa pengetahuan saya sendiri paling 10% dari pengetahuannya. Dr IC menginginkan riset aplikatif, orisinal dan sesuai dengan tujuan akhir kualifikasi level mahasiswa doktoral. Saya seperti melihat sebuah puncak sebuah menara, padahal rasanya posisi saya sekarang masih berada jauh di luar pagar menara itu sendiri.

Dr IC terkenal akan campur-tangannya dalam berbagai hal di lab Beton. Meskipun sibuk dengan mengajar kelas dan terlibat dengan berbagai proyek, tetapi Dr IC selalu berusaha hadir di lab luas itu. Peralatannya membentang dari dalam lab Beton hingga di bawah ‘Big Blue Shed’. Big Blue, demikian mereka memanggilnya, adalah tempat menguji sampel dengan alat-alat berskala lapangan.  Dr IC adalah tipe orang yang tak sungkan duduk diam di lab mengutak-utik program dan mengkalibrasi data logger selama berhari-hari. Ia seperti sebuah kelengkapan lab, karena pengetahuannya yang luas di bidang teori dan aplikasi menjadi tempat rujukan bagi siapapun.

Beliau sepertinya selalu turun tangan ingin membantu (baca: mengurusi) riset siapa saja yang membutuhkan dirinya. Bisa jadi dari sekedar saran keilmuan hingga bantuan tenaga. Terkejut juga melihat Dr IC mau berkotor-kotor meratakan permukaan beton segar yang baru dicor milik seorang teman tanpa diminta. Saya sering terkaget-kaget mendengarnya berbicara langsung memberikan saran saat saya tengah mengerjakan sesuatu yang dianggapnya belum sempurna. Misalnya saat pemasangan sulfur cap untuk benda uji tes tekan. Tangan ini sampai pegal rasanya karena harus mengulangi pemakaian sulfur cap pada sampel agar mendapatkan permukaan yang rata sesuai alat kalibrasi. “Jika tidak, hasilnya kurang akurat karena beban tidak terdistribusi merata di permukaan benda uji”, kata Dr IC, membesarkan hati melihat wajah saya yang kelelahan.

Dosen seperti Dr IC memang bukan idola para teknisi di lab. Ia selalu ‘pushy, wants things on the spot, crazy’ dan segudang kata-kata berbunga (baca: mengerikan) selalu royal dilimpahkan mereka untuknya. Diri sayapun selalu bimbang menentukan sikap. Kadang mengidolakan, kadang ingin beliau pensiun saja dari lab. Jika sedang merasa dibantu, saya jadi ‘friends’, sedangkan saat jadwal riset saya terpotong untuk keperluannya,  sudah pasti langsung mencak-mencak sendiri berharap ia tidak pernah melakukannya. Tetapi biar tak jelas begitu, kadang di saat-saat paling tak terduga, Dr IC bisa ada untuk membantu. Untuk pengambilan data terakhir riset saya yang telah tertunda berbulan-bulan, Dr IC malah bersedia membantu mengkalibrasi dan mengatur alat-alat tes Modulus of Elasticity tersebut. Kami bekerja sama dengan baik sekali, tanpa beban perasaan.

Mungkin semangat Dr IC yang meledak-ledak, keinginannya agar semua orang bisa ‘as professional as they can be’, dan berbagai harapan agar semua tantangan yang diterimanya dalam pekerjaan dapat terakomodasi, membuatnya terlihat sangat produktif. Padahal jika dilihat dari kondisi fisiknya sekarang, Dr IC tampak lebih tua dan ringkih dari tahun-tahun sebelumnya. Ia masih tidak mau menyerah, meskipun umur dan penyakit terus menggerus kecepatan aktivitasnya. Ia bilang, kesukaannya pada ‘tantangan’ dan keasyikan memberi pengajaran pada mahasiswa Teknik Sipil dengan cara berbeda dari semestinya, seperti ‘beam competition’; bagaikan sebuah tonik penambah semangat hidup.

Semangat itulah yang ingin ditularkannya pada orang-orang di sekelilingnya. Pada dosen muda seperti saya, ia berpesan agar rajin berinovasi dalam pengajaran dan penelitian, sekaligus memperbaiki kompetensi diri agar dapat menjadi pengajar sekaligus insinyur yang profesional.

Saat saya berpamitan dari lab untuk terakhir kalinya, Dr IC menyalami saya dengan hangat. Saya lihat matanya seperti penuh berkata-kata tentang sesuatu. Entah apa artinya, sehingga saya merasa sungkan dan melirik lantai beton di bawahku. Sudah bertahun-tahun saya melihatnya di sana dan pada saat yang sama pula ia melihat kegigihan saya berjuang di lab maskulin itu. Meskipun pekerjaan itu memerlukan waktu lebih lama dari orang lain,  saya harap dia melihat usaha-usaha yang tidak sempurna itu sebagai sebuah usaha terbaik saya untuk menaklukkan kesangaran perjalanan mendaki menara PhD.

Detik berikutnya, saya bisa melihat penghargaan itu dari dirinya. Karena ia sekarang mulai berceramah tanpa ragu soal proyek terbaru mereka di Kalbarri, daerah pertambangan; seolah-olah saya seseorang yang telah lama dikenalnya dengan baik.

Thank’s Dr IC to remind me that, “There’s always a room for improvement”.

Perth,

 

Pengembangan rumah murah di India, sebuah studi kasus (1)

Pada tanggal 25 Februari 2011 lalu, sebuah wacana menarik muncul di media massa mengenai rumah murah seharga 5 juta rupiah (USD 300). Ide ini diakui Presiden SBY muncul saat beliau melihat prototipe rumah murah tersebut dalam lawatan beliau ke New Delhi baru-baru ini. Seperti biasa, baru saja memberikan ide, sudah muncul pro-kontra di benak para pengembang dan pemerintah daerah. Sebelum kita semua ikut pro atau ikut kontra, saya ingin menuliskan kembali secara kreatif sebuah paper yang pernah saya baca dalam prosiding Symposium on Building Materials for Low income Housing in Asia and the Pacific (1987). Paper yang berjudul ‘Development and Use of Cheap Building Material in Low Income Housing: Case Study- India’, oleh R. D. Gohar (Delhi Development Authority).

Rumah murah merupakan permasalahan paling umum di negara-negara berkembang dengan populasi tinggi. Rendahnya sumber dana, pendapatan perkapita, dan prioritas pemerintah daerah, menjadikan isu rumah murah sering kekurangan peminat. Tidak seperti di Indonesia, pemerintah di negara India telah menyadari hal ini jauh-jauh hari. Untuk menghemat biaya, selain menggunakan rancangan rumah yang memadai, pemilihan bahan baku yang murah, penghematan biaya tukang serta teknologi tepat guna telah diteliti. Kenyataannya, komponen biaya paling besar diserap oleh bahan baku, kemudian tenaga tukang dan terakhir metode konstruksi. Hal ini mendasari pemilihan bahan baku yang murah sebagai solusi dari pokok permasalahan dalam pembuatan rumah murah.

Bahan baku yang digunakan mestilah murah karena mudah didapatkan, layak untuk komponen bahan dan tersedia dalam jumlah besar. Umumnya material seperti kayu, bambu, lumpur, tanah liat tersedia di alam dalam jumlah tak terbatas. Hanya sayangnya teknik pengolahan, tingkat produksi yang rendah serta kebutuhan tinggi menjadikan harga bahan baku tersebut meningkat. Oleh karena itu, selain meneliti bahan-bahan tersedia, pemerintah India juga melakukan penelitian bahan baku baru yang lebih ekonomis dan dapat diproduksi secara efisien.

Beberapa contoh bahan baku yang telah berhasil dikembangkan pemerintah India untuk rumah rumah tersebut, adalah:

a)      Lumpur

Lumpur merupakan bahan yang paling murah dan banyak digunakan di rumah-rumah tradisional India. Balok lumpur, bata lumpur dan lumpur itu sendiri dijadikan pengikat untuk pondasi, dinding, ubin dan plaster. Kelemahan lumpur adalah mudah tererosi jika terkena air, meningkatkan kelembaban serta memiliki waktu layan yang singkat. Oleh karena itu, hasil penelitian di India menggunakan lumpur yang dicampur dengan berbagai bahan seperti abu biji-bijian (sekam), aspal hingga kotoran sapi untuk meningkatkan kekuatan, durabilitas dan kekedapan. Semen dan kapur bisa ditambahkan untuk meningkatkan kuat tekan dan ketahanan terhadap rembesan untuk membuat balok lumpur dan pondasi. Sedangkan lumpur yang dicampur tanah liat dapat digunakan untuk membuat bata dan ubin.

b)      Bata lempung

Bata umumnya dibuat dari tanah alluvial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa abu terbang dicampur dengan tanah merah dan dibakar dengan teknik dan suhu yang tepat dapat menghasilkan bata dengan mutu lebih baik.

c)       Genteng dan ubin lempung

Genteng dan ubin terbuat dari lempung biasanya digunakan untuk penutup atap dan lantai. Berbagai jenis genteng dan ubin dihasilkan sesuai dengan bahan baku lokal. Penelitian ini serupa dengan bata, selain menggunakan berbagai variasi bahan, juga memerlukan teknik pembuatan dengan suhu yang tepat.

d)      Semen

Semen merupakan bahan baku paling penting yang digunakan dalam pembuatan rumah murah. Harga semen dapat ditekan jika dicampur dengan abu terbang hingga abu sekam. Penelitian mengenai penggunaan bahan limbah untuk pengganti sebagian semen telah banyak dilakukan, termasuk penggunaan bahan geopolimer untuk mengganti total semen dalam campuran.

e)      Beton ringan

Beton ringan untuk insulasi suhu dan api telah banyak diproduksi dengan cara menggunakan agregat ringan seperti lempung maupun abu terbang. Beton ringan biasanya memiliki kuat tekan tinggi, tetapi densitas yang rendah.

f)    Bambu dan kayu

Bambu banyak ditemukan di India dan telah digunakan sebagai atap dan dinding. Kayu bekas yang telah pernah digunakan juga merupakan alternatif ideal karena memiliki karakteristik tidak jauh berbeda dari kayu baru. Serpihan kayu juga banyak dimanfaatkan untuk pembuatan particle board ataupun rangka atap.

Aplikasi bahan baku di atas untuk rumah rumah memerlukan penelitian cukup lama guna menghasilkan teknik produksi efektif dan efisien serta bahan baku berkualitas. Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan penggunaan bahan baku tersebut adalah melalui analisis biaya untuk tiap komponen bahan. Hal ini akan saya jelaskan dalam bagian (2) tulisan ini.

Perth,

picture:hedgehogpygmy.com

G’day!

Assalamu’alaikum Wr Wb,

Jika ditanya mengapa jadi pengajar, saya juga tidak mengerti mengapa Allah mengaruniakan jalan ini kepada saya. Setahu saya, hobi mengajar adik dan teman-temannya menjadi modal untuk mengetahui bakat terendam ini. Lainnya, kesukaan belajar sesuatu yang baru dan menyukai dunia kampus membuat saya tidak keberatan menjadi pengajar. Apalagi suatu rahasia besar yang baru saya ketahui saat baru menjadi pengajar, adalah ‘jika ingin menguasai sesuatu, maka ajarkanlah hal tersebut kepada orang lain’. Artinya, sebelum kita bisa mengajarkannya kepada seseorang, kita harus mengetahui suatu pelajaran baru dapat mengajarkannya. Sukur-sukur, karena terlalu sering diajarkan, kita bisa mengamalkannya.

Setelah beberapa lama, saya bisa mengatakan kalau saya sangat menyukai menjadi seorang pengajar. Mengajar seperti aktor dan aktris sedang berakting, bisa mengatakan apa yang diketahui dan membaginya kepada audiens seperti mahasiswa. Apalagi tipikal saya yang suka berbagi informasi kepada orang-orang. Mengajar seperti memberikan tempat bagi diri saya yang suka meluahkan pengetahuan. Tiap pengajar juga mendapat kesempatan untuk selalu memperbarui ilmu mereka lewat belajar, membaca, seminar dan konferensi. Hal ini saya rasakan sebagai sebuah kekayaan melimpah yang tidak dapat digantikan oleh apapun. Betapa menyenangkannya mengetahui kalau bunga lupin ternyata beracun, bangunan tinggi mengambil filosofi bambu hingga kepakan sayap burung hantu yang tidak berisik menginspirasi kipas mesin komputermu? Betapa menyenangkannya bisa memberikan info bahwa kapal Independence of the Seas memiliki 18 tingkat dan dapat memuat 6000 penumpang~ sama menariknya saat orang bercerita tentang kasus politik terbaru dalam berita televisi.

Ada hal lain yang membuat saya suka mengajar~ selain mendapat pahala dari Allah, yaitu tiap pertemuan dengan mahasiswa selalu memberikan berbagai inspirasi hidup. Ada yang pintar, sombong, kurang ajar, bahkan tidak jelas kepribadiannya, tetapi ada juga yang baik, patuh, peramah, sampai tidak percaya diri, depresi dan sering menjadi doormat orang-orang. Saya belajar bahwa tiap orang berbeda dan perlu keahlian untuk menghadapi mereka. Tidak hanya mendapatkan inspirasi, saya sering harus terjun sendiri mencoba menyemangati mahasiswa yang memerlukan semangat. Senang sekali rasanya kalau bisa menyemangati seseorang yang sebenarnya mampu, tetapi tidak memiliki pegangan, sehingga dengan sedikit dorongan mereka bisa sukses. Kita sendiri, yang telah pernah melewati jurang dan gunung berduri,  dapat menginspirasi mereka bahwa masa-masa sulit itu bukan milik mereka sendiri.

Hope they’ll be useful for us.

Wassalam,

Monita Olivia

Civil Engineering Department,

Faculty of Engineering

University of Riau

Pekanbaru, Indonesia