Menjadi Reviewer Jurnal

Salah satu pekerjaan yang cukup menantang sisi keilmuan saya adalah menjadi reviewer untuk jurnal.

Sebagai seorang reviewer, kita harus independen dan tidak terbawa emosi dalam mengevaluasi sebuah riset. Ada kalanya kita harus sabar dan pelan-pelan memahami maksud author dalam mengungkapkan hasil risetnya. Terkadang author terlalu bertele-tele di satu sisi, tetapi di sisi lain terlalu ringkas sehingga maksud penulisan tidak terbaca dengan jelas.

Kadang-kadang kita menemukan ‘missing link’ dalam sebuah penulisan. Saya cenderung memberikan masukan untuk struktur artikel agar ‘flow’ penulisan terjaga dan artikel enak diikuti. Kita harus terus menilai sisi koherensi sebuah artikel dengan obyektif sehingga tidak memiliki praduga awal. Kemudian kita bisa memberi masukan kepada author bagaimana cara agar mereka fokus dan semua teori maupun fakta bisa diliput dalam artikel tersebut.

Di samping itu, data mestilah robust. Untuk menilai sebuah artikel sukses atau tidak, bukan sekadar data dengan penyajian rumit, tetapi data dapat dibaca, dimengerti dan meyakinkan. Terkadang kita harus kembali mengecek metodologi apakah pengambilan data sudah mengikuti prosedur yang benar. Jika ada modifikasi, bagian mana yang dimodif dan apa akibatnya terhadap data.

Format penulisan juga perlu dicocokkan dengan style jurnal target. Author sering mengabaikan hal ini demi mengumpulkan artikel sesuai tenggat waktu mereka. Jika mayor, maka author diminta mengikuti format dengan strict. Jika evaluasinya minor, maka hal-hal kecil seperti salah tanda, typo, tidak perlu dicek semua, hanya berikan contoh dan minta author mengubahnya supaya konsisten dan seragam.

Secara bertahap kita bisa menguji argumen penulis dengan data dan teori yang disajikan. Bagian inilah yang tersulit dalam mereview sebuah artikel. Apakah dengan asumsi awal, metode, data, dan pembahasan, maka didapatkan benang merah tulisan, dan dapat dirangkum dengan baik dalam kesimpulan?  Jika tergambar dengan baik dan kekuatan argumen tinggi dibuktikan dengan fakta hasil penulisan, maka artikel dapat direkomendasikan untuk diterbitkan.

Artikel seperti apa yang pernah saya tolak? Pertama, flow tulisan sulit diikuti. Kedua, data yang disajikan tidak lengkap dan kurang robust. Ketiga, tidak ada benang merah antara masalah, metode, hasil dan kesimpulan.

Bagaimana dengan masukan kita, apakah didengarkan Chief in Editor? Sekitar 90-95% artikel yang saya review, memang diterbitkan dalam jurnal. Ada artikel yang direkomendasikan ditolak, memang ditolak. Tetapi kecil dari 5% artikel yang saya tolak, tetap direkomendasikan untuk diterbitkan. Nah, di sini saya sering mengevaluasi apakah saat mereview saya kurang independen atau kualitas riset outperfomed teknik penulisan. Bagian ini cukup challenging, sehingga harus sering mempelajari style artikel dari sebuah jurnal dan mengikuti kebaruan di bidang riset tertentu.

Final Year Project Batch S1 (Bagian 01)

Kode rombongan Batch 00 sudah mulai digunakan pada tahun 2012, saat saya kembali membimbing grup penelitian tugas akhir mahasiswa setelah selesai studi S3. Pada suatu siang di lab, seorang mahasiswa datang menghadap untuk berdiskusi judul tugas akhir. Saya menerimanya, karena ia yang datang meminta saya menjadi pembimbing. Pertimbangannya adalah komitmen mau bekerja di bawah bimbingan saya sehingga ia tentu tidak merasa terpaksa kalau harus bekerja sesuai dengan standar saya. Bisa dibayangkan betapa tingginya hati seorang dosen pembimbing TA itu ya, hehe. Setelah itu beberapa mahasiswa datang lagi ingin dibimbing dan bersedia digojlok dengan puluhan paper berbahasa Inggris.

Rombongan pertama ini paling banyak mengalami suka-duka selama ngelab karena berbagai alasan personal, profesional, teknis dan praktis. Saya juga harus mulai dari nol seperti harus menyemangati, menyiapkan paper dan standar, melatih presentasi, membuatkan langkah-langkah TA dengan saya, dsbnya, termasuk demo membuat geopolimer di lab. Kadang-kadang saya lihat mereka duduk di bawah pohon ketapang sambil mengayak abu sawit untuk bahan penelitian tanpa kenal lelah. Berkat kesigapan dan ketekunan kelompok pertama ini, beberapa orang yang masuk dalam rombongan berikutnya terbantu karena pengetahuan dan tips mereka bekerja di lab.

Mahasiswa di Batch 01 sangat luar biasa dari segi semangat dan kekompakan. Mereka sangat ambisius dan banyak membaca. Hasilnya bisa dilihat dari 2 publikasi di prosiding terindeks Scopus dan mendapatkan best paper award (silver medal) dalam MIGS 2 (Malaysia Indonesia Geopolymer Symposium) 2015 di Surabaya. Topik yang diangkat Batch 01 merupakan topik-topik baru dan belum banyak diteliti sebelumnya. Ada beberapa mahasiswa yang menulis tugas akhir dengan rapi, lengkap dan berbobot tinggi , sehingga mereka seharusnya mendapat gelar S2 ketimbang S1.

Tahun 2014, saya dikejutkan 8 orang mahasiswa yang mau bergabung dalam Batch 02. Meski ramai, mereka selalu rajin bekerja dengan topik masing-masing. Saya sendiri kewalahan pada awalnya, tetapi terbantu karena antusiasme dan kekompakan mereka bekerja di lab. Beberapa mahasiswa mendapatkan hasil penelitian yang baru dan original. Meski demikian, kesulitan membina grup besar adalah waktu bimbingan yang sulit dipenuhi karena kesibukan lain. Saya harus membagi kelompok menjadi beberapa grup kecil dengan topik sama supaya lebih fokus saat bimbingan penulisan laporan tugas akhir. Topik yang dicover seperti beton menggunakan campuran kerang, beton di gambut dan geopolimer dirawat di suhu ruang.

Bersambung ke Part 02, ya.

Kursus SEM

Salah satu keahlian yang dibutuhkan dalam riset tesis saya adalah menggunakan peralatan SEM (Scanning Electron Microscopy) untuk mengamati mikrostruktur beton. Oleh karena itu pada bulan Juli tahun 2007 lalu, saya, Hakim dan Shariff (teman-teman seperjuangan di sini) bergabung dalam kelas SEM  yang diadakan Centre for  Microscopy, Characterisation and Analysis di University of Western Australia (UWA) . Hakim berniat meneliti dimensional accuracy (machining), Shariff ingin melihat hasil akhir transformasi tumbuhan wheat yang dipakai jadi penyaring air kotor dan saya sendiri tentu saja ingin melihat meneliti permukaan beton geopolimer dari abu terbang tersebut.

Awalnya kita tidak tahu seperti apa SEM itu. Kita cuma kenal mikroskop biasa untuk melihat benda-benda mungil di permukaan benda. SEM ternyata digunakan untuk tujuan serupa, tapi lebih canggih prosesnya dan lebih jauh jangkauannya sampai ke tingkat mikro. Sebagai surface imaging tool yang menggunakan elektron beam dengan sistem scanning, hasil akhir SEM bisa berupa informasi struktural maupun komposisi material. Terus yang perlu diketahui lagi, ada dua macam beam interactions, yaitu SE (Secondary Electrons) dan BSE (Backscattered Secondary Electrons). Untuk mendapatkan hasil struktural saja kita perlu gunakan menu SE. Sedangkan untuk sampe mengetahui komposisi material, kita gunakan yang BSE.

OK ya, udah ngerti kan, jadi ntar bisa ngikutin gambar-gambar yang bentar lagi ditampilkan.

Setelah mengikuti teori beam, electron, parameter, etc yang benar-benar mirip dengan pelajaran fisika dicampur kimia, kami dikirim ke beberapa orang tutor untuk melaksanakan praktikum. Saya tetap sekelompok dengan Hakim dan Shariff, yang dibimbing oleh Peter sang tutor. Peter pernah tinggal di Jakarta dan kelihatannya antusias banget cerita ke saya kalau dia suka menyetir di Jakarta. “Tidak perlu beli mobil keren di sana, cukup yang biasa-biasa saja, supaya bisa nyalip angkot”, kata Peter setengah bernostalgia yang diiringi tawa keras kami semua. Dia memang suka bikin kaget kalo melucu, walo tertawanya kami lakukan supaya lulus aja… hahaha… sori, Peter! Kami dilatih menggunakan mesin SEM Philips XL30. Btw, perangkat ini termasuk peralatan generasi awal SEM, tidak seperti EVO atau ESEM yang lebih mudah cara pengoperasiannya. Tapi kami tidak merasa ketinggalan zaman, soalnya kami tidak membutuhkan peralatan yang ribet. Paling hanya mengamati permukaan struktur saja. Yang penting hasil gambarnya jelas, akurat dan kelihatan keren di thesis.

Sampel pertama praktikum, melihat binatang mungil yang terdapat di dalam kasur/bantal kita. Surprise, surprise… wah, ternyata bentuk kumbang debu itu bagus yah. Tekstur permukaan badan kumbang seperti sehelai kain yang belum dirapikan. Subhanallah… binatang kecil yang hidupnya dalam busa kasur dan bantal berdebu tak terlihat mata ternyata punya bentuk yang hampir sama dengan kumbang biasa.

Kemudian, dengan memperbesar sekitar 1875x, kami dapat melihat tekstur kulit luar si kumbang. Wow, bener-bener tekstur yang tidak disangka, kan? Saya sampe merinding (begitu tuh, kalo melihat sesuatu yang benar-benar bagus, suka ngalami goosebumps). Dengan bahagia, Peter si tutor memamerkan gambar ini ke tutor lain yang sedang lewat. Katanya the best picture waktu kursus nih. Thank’s to Hakim yang udah sabar memperjelas gambar tekstur ini.

Sekarang, ada lagi kejutan baru:
Ini adalah bulu lalat yang nempel di pukulan lalat yang ceper itu. Tapi pemukulnya dari logam, jadi kamu bisa liat ga, logamnya yang bentuknya persegi, terus warnanya agak cerah— Kalo kita pake feature BSE (ayo, masih inget ga tadi apa maksudnya BSE?), ntar ada pantulan logamnya. Bener-bener amazing, jadi bisa liat bulu lalat nempel di pemukul! SEM ini bener-bener luar biasa!

Nah, ini masih benda yang sama, terlihat, kan kulit badan lalat yang nempel di pemukul? Shariff yang dapetin gambar bagus ini.

So, basically, waktu ngambil gambar-gambar bagus lewat SEM, kita perlu sedikit jeli mencari gambar yang informatif, punya sudut pandang bagus dan fokus. Jadi, waktu kita menginterpretasikan hasil, sudah jelas dapat memberikan analisis yang bagus. Perlu kesabaran untuk mencari dan mengamati serta menyimpan image-image yang telah kita temukan. Kalo agak jelek juga bisa di edit di Photoshop, hanya tidak direkomendasikan, karena hasilnya tidak murni lagi.

Berbekal kursus singkat tapi mendebarkan selama tiga hari tersebut, saya merasa mulai percaya diri untuk menggunakan mesin SEM yang ada di kampus Curtin. Nanti kita lihat bagaimana hasilnya!