Elsevier Journal Match Maker App

Penerbit Elsevier menerbitkan sekitar 250.000 artikel ilmiah per tahun yang dimuat dalam 2869 jurnal dengan memperkerjakan 7000 editor dan ratusan ribu peer review. Melalui ribuan jurnal tersebut, seringkali ditemukan penulis salah memilih jurnal yang tepat untuk manuskrip mereka. Sebagai contoh, untuk bidang saya sendiri, terdapat sekitar sepuluh jurnal yang relevan dengan bidang saya. Manuskrip kerap ditolak oleh Ketua Dewan Editor karena dianggap tidak sesuai dengan misi jurnal. Untuk melakukan trial-error demi mendapatkan jurnal yang tepat bisa menghabiskan waktu lebih banyak dari perkiraan penulis.

Elsevier telah menyediakan sebuah fitur menarik, yakni ‘Match your abstract to journal‘ untuk menemukan target jurnal yang tepat bagi artikel kita.

Fitur ini dapat ditemukan di: http://www.elsevier.com/journal-authors/home

Pertama-tama, klik ‘Start matching’

Kedua, ketik judul artikel di ‘Paper title’

Lalu copy dan paste abstrak kita di ‘Paper abstract

Tentukan maksimum tiga ‘field of research‘. Semakin banyak, maka semakin besar kemungkinan jurnal yang tepat untuk artikel kita.

Klik ‘find journal’

cek ‘Search result’

Informasi paling penting untuk dicermati adalah nama jurnal, impact factor, percentage of acceptance.

Untuk mendapatkan keterangan lebih lengkap, klik View scope and more information atau Submit Your Paper di bawah tiap nama jurnal yang direkomendasikan.

Pekanbaru,

When Being Competitive is Counterproductive

I’m not trying to sound like any post at blogs.hbr.org.

But, I like to emphasize that the competitive mind-set is a classic problem in life. However,  when I did my PhD, I learned a lot about the advantage of networking and collaboration in pursuing my final goal. I got a lot of supports during the journey from various sources since I tried to be open minded about other people’s contribution.

Life is full of passion and desire on many physical and emotional things. We also want to be recognized from our success. This causes us to work hard and try to reach any possible opportunities in pursuing our dreams. Sometimes we look around us and cannot control our negative feelings towards other people’s achievements. Then we trap into such a feeling, ‘if he/she could do it, why I couldn’t do it too?’  The notion that could boost our emotions and adrenaline to move faster than anyone. Hence, we just want to be known eventually, that we are as good as them.

It is a normal to compete with other people.
But, when it is just for a recognition and approval from other people, then you’re misleading.

Then, we are suggested to change the mind-set in order to gain more results.
A noble/high aim needs big energy and sources. 
A single success is normally short term and far from prominent output.

Take a look a professional sports player, for example. If someone is very successful as a single player in one sport tournament for a long time, he/she must have a great team behind him/her. A simple example is the Formula One driver. He has enormous supports during the race or outside the race. He needs a fast, accurate and reliable team to help him to win every race in a season.

Adopting the same approach on working in a big project, could help us to save time and energy while guarantee collective success for every person in a team. I think this is the best part.

In particular for the environment with limited resources, it is advisable for each person to start collaboration than being a purely competitive. According to Tina Seelig (2009) in ‘What I Wish I Knew When I was 20’:

“Where there are limited resources, being driven to make yourself and others successful is often a much more productive strategy than being purely competitive. Those who do this are better able to leverage the skills and tools that others bring to the table, and to celebrate other people’s successes along with their own.”

Then, to valuate our sources and admit our limitations is imperative to create something excellent in the long run. We need to reduce our ego and start to include other people in our efforts than compete with them, because it is counterproductive.

Pekanbaru,

The Importance of Preparation

I am sure a good preparation could make differences in any big effort.

Before I came into my PhD study, I did some research to know exactly the expectations of being a PhD scholar. PhD study certainly needs research skills such as critical thinking, effective reading and scientific writing. However, I’ve encountered some words related to non-research attitudes, namely ‘braveness, resourcefulness, perseverance and endurance’, etc, during the study. Hence, those words became the keywords of my PhD stages.

I could  put those words in order like this:
Before apply PhD: ‘braveness’
First year of PhD: ‘resourcefulness’
Second year and third year of PhD: ‘perseverance’
Final year of PhD: ‘endurance’ 

I learned that doing a PhD is not only to gain a degree, but also a ‘heroic journey’. It must be involving a strong heart and mind to win the ‘battle’. I just could suggest you to read ‘The Alchemist’ by Paulo Coelho to understand the philosophy of the ‘heroic journey’. I’ve been inspired by the story til I could describe my PhD stages in four words.

Anyway, any important journey needs good preparation. You cannot just jump into the battle without good strategy. This what I mean by preparation. You must learn and make strategies to be able to face the challenging sequences during the ‘battle’. There is no straight way to overcome it. Or, otherwise it is going to be a ‘cheap’ battle, because we could easily conquer it.

What I did during my PhD few years ago, was not just to interview my lecturers, Professors, friends, or senior colleagues, but I also attended many workshops on how to do PhD, and consulted many books on ‘How to get a PhD’. There are many books that can help us to understand the nature of PhD study. It is a long term under pressure situation with one final goal of thesis submission. Hence, the interviews, workshops, and books are very useful to help me design the strategies. I didn’t want to face the challenge without knowing what to fighting for. Although it was a difficult and stressful journey, I was glad I have overcame it eventually.

It feels wonderful.

Well, just to remind us that success is described as ‘when the opportunity favors only the prepared mind’. Again, we could see that ‘a good preparation is essential’.

Pekanbaru,

Transformasi Teknik Mengajar

Tiap akhir semester, saya dan teman sejawat cukup deg-degan menunggu hasil pembelajaran mahasiswa di kelas X. Deg-degan itu semakin menjadi-jadi ketika batas kelulusan selalu tak jauh dari tahun sebelumnya. Pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya selalu “harus bagaimana lagi ya?”

Sebagai pengampu mata kuliah X sejak tahun 2002, saya merasa kekurangan ide untuk mengajarkannya. Sebenarnya sudah ada sebuah paper yang pernah saya tulis mengenai inovasi pembelajaran mata kuliah X, tentang pembuatan alat peraga, program Computer Assisted Learning, dan bahan ajar. Sayangnya setelah semua bentuk ‘inovasi’ tersebut dilihat-lihat pada tahun 2012, baru saya menyadari kalau bahan-bahan itu harus diupdate dan teknik mengajar perlu diasah kembali.

Pucuk dicita, ulam tiba.

Setelah mengikuti Pelatihan Pekerti-AA yang diselenggarakan Pusbangdik UNRI pada bulan Juli 2012 lalu, saya diingatkan kembali untuk mengevaluasi beberapa hal. Saya memperbaiki ‘Kontrak Pembelajaran’. Hasilnya menarik, karena semua  mahasiswa pada semester lalu tidak ada yang tidak membawa kalkulator dan peralatan tulis lengkap untuk kuliah atau ujian.

Setelah melakukan proses ‘Rekonstruksi Mata Kuliah’, akhirnya diperoleh beberapa penyebab kuliah X tidak maksimal.

a) Kemampuan Matematika dan Fisika mahasiswa baru tidak diketahui. Kemampuan dasar Matematika dan Fisika sangat diperlukan untuk penyelesaian soal-soal dalam mata kuliah X, tetapi informasi awal level pemahaman mahasiswa malah tidak dimiliki.

b) Konsep mata kuliah X memerlukan pemahaman dan imajinasi tentang arah aliran gaya-gaya yang bekerja pada suatu benda. Tanpa alat peraga, mahasiswa sering kesulitan membayangkan aksi-reaksi yang terjadi saat sebuah benda dibebani.

c) Mahasiswa kurang aktif dan pasif dalam belajar. Sering ditemukan mahasiswa yang mengeluh bahan ajar terlalu konseptual. Padahal, bukankah itu tugas mereka, untuk memecahkan persoalan tersebut? Kemudian, mahasiswa tidak mau aktif bertanya atau mengemukakan pendapat di kelas.

Sedangkan ‘Observasi Microteaching’ yang dilakukan teman sejawat dan tutor dari Pusbangdik diperoleh kesimpulan menarik seperti:

a) Perlu perubahan pembelajaran pasif (Teacher Centered Learning) menjadi pembelajaran aktif (Student Centered Learning)

b) Aspek perencanaan pembelajaran masih lemah karena minimnya interaksi antara mahasiswa dengan mahasiswa

c) Penilaian akhir perlu dibuat rinci, sehingga mahasiswa mengetahui dasar-dasar penilaian agar mereka dapat belajar dengan terukur.

Berdasarkan hasil review tersebut, saya mencoba menerapkan salah satu masukan untuk mata kuliah X pada Semester Pendek 2012/2013 lalu.

Sebelum perkuliahan dimulai, saya membuat panduan kuliah Semester Pendek. Panduan singkat tersebut memuat Kontrak Perkuliahan, Sistem Penilaian, materi per minggu, soal-soal latihan untuk diselesaikan setiap minggu, kisi-kisi UTS dan UAS, serta hasil akhir yang diharapkan. Memang sangat terasa perbedaannya, karena mahasiswa jadi sangat fokus dan berusaha mencapai tujuan yang diharapkan secara konsisten.

Saya cukup puas dengan penerapan satu masukan tadi. Mudah-mudahan Semester Ganjil 2013/2014 nanti, banyak masukan lain bisa dilakukan. Maklum, target saya tingkat kelulusan mata kuliah X tidak ‘mengejutkan’ lagi bagi mahasiswa dan… tentu saja, saya sendiri.

Pekanbaru,

 

 

 

Komunikasi via Email

Sebenarnya tidak mudah memulai sesuatu yang baru. Tetapi setelah setahun lebih melaksanakannya, saya merasa puas dengan strategi andalan ini dalam berkomunikasi dengan mahasiswa.

Pengalaman lama mengajarkan saya tentang rumitnya berkomunikasi dengan mahasiswa lewat telepon genggam. Pertama, waktu berkomunikasi yang tidak tepat, misalnya setelah shalat Subuh atau setelah shalat Isya. Seharusnya mahasiswa tahu bahwa jam kerja hanya pukul 8 pagi sampai 4 sore dan urusan mereka akan direspon pada saat itu. Kedua, cara berkomunikasi yang kurang luwes dan kurang hormat. Saya tidak nyaman kalau mahasiswa berbicara kurang sopan dan bernada menodong seolah-seolah ‘hanya saya sajalah yang belum membuat keputusan’. Ditodong begitu, kok sepertinya saya sangat menyusahkan hidupnya, padahal kalau tidak ada saya pasti ada yang akan menggantikan.

Sewaktu bersekolah di UMIST atau Curtin, saya jarang menelepon dosen atau Profesor secara langsung. Untuk bertanya lebih mudah menggunakan email. Semua tercatat dan mudah ditelusuri kembali. Oleh sebab itu saya memilih menggunakan email mengingat kesantaian, keteraturan dan tercatatnya komunikasi serupa itu. Saya bisa mengirim bahan kuliah secara berkala sebelum perkuliahan dimulai. Pengumuman untuk mahasiswa bisa disampaikan lebih cepat via email tanpa harus datang langsung ke kampus. Selain itu, mahasiswa bisa mendapatkan keputusan dan saran kapan saja tanpa harus menunggu jam kerja esok hari.

Mahasiswa yang melakukan Tugas Akhir merasa cara ini lebih fleksibel. Mereka tidak perlu menunggu berjam-jam sampai saya datang ke kampus hanya untuk bertemu. Mereka boleh mengirim proposal, laporan atau slide presentasi untuk diperiksa. Mahasiswa yang memerlukan saya sebagai penguji juga menggunakan cara ini. Mereka harus belajar menulis email untuk menanyakan kesediaan dan memberikan konfirmasi akhir. Untuk hal ini, saya bertekad melakukan apa yang saja janjikan, yakni insya Allah saya akan datang menguji tepat waktu. Kebaikan dari cara komunikasi via email adalah mahasiswa belajar untuk berkomunikasi secara sopan melalui tulisan, dan belajar ‘organized’ atau mengatur waktu pengiriman email supaya tidak tergesa-gesa saat mengundang saya sebagai penguji.

Sejauh ini saya sangat puas dengan organisasi komunikasi via email meski pada awalnya cukup merepotkan karena mahasiswa tidak terbiasa menggunakan cara ini. Memang harus sabar mengingatkan mereka untuk menulis dengan sopan tanpa singkatan, atau menegur mahasiswa yang terlambat mengundang saya.  Buah manis yang bisa dipetik, semisal saya tidak pernah diganggu telepon oleh mahasiswa, punya waktu fleksibel untuk merespon email sehingga dapat memberikan saran bermutu, maupun dapat diakses kapan dan di mana saja oleh mahasiswa.

Pekanbaru,

Seminar Internasional ‘Sustainability in Concrete Technology and Construction’

Ibu/bapak yth,Sebagai bagian dari perayaan Dies Natalis Prodi Sipil UK Petra ke 51,
kami berencana menyelenggarakan seminar ‘Sustainability in  Concrete
Technology & Costruction’, pada:

Hari, tanggal : Rabu, 18 September 2013
Tempat        : Auditorium UK Petra
Waktu        : 08.00-17.00

Pembicara utama dalam seminar ini adalah:
1. Prof. Koji Sakai (Kagawa University, Jepan)
2. Prof. Takafumi Noguchi (Tokyo University, Jepan)
3. Prof. DongUk Choi (Hankyong National Uni, Korea)

Selain itu juga ada presentasi/sharing dari beberapa industri dengan
tema ‘How a Concrete (or related) Industry can contribute to a more
sustainable society’

Bersama ini saya kirimkan flyer dari seminar tersebut, silakan dicetak
bila memerlukan. Mohon bantuan untuk meneruskan informasi ini ke relasi
ibu/bapak.

Demikian, untuk perhatian yang diberikan saya ucapkan terimakasih.

Salam,
Panitia

Informasi Konferensi Internasional

Untuk mengetahui informasi konferensi internasional yang akan berlangsung termasuk Call for Paper (undangan pengumpulan naskah), maka dua situs berikut sangat berguna. Gunakan fitur ‘search’ untuk memfilter bidang konferensi sesuai keinginan.

www.conferencealerts.com

www.wikicfp.com

 

Guru, siswa dan Facebook

WACOT, Western Australia College of Teaching disciplinary committee pada tahun 2009, meminta agar guru tidak berkomunikasi dengan siswa melalui Facebook atau Myspace. Pelanggaran yang telah dilakukan oleh guru seperti memajang foto sangat pribadi untuk diakses siswa ataupun pendekatan seksual dianggap tidak relevan dengan hubungan guru-siswa. Nah, sebenarnya apa saja dampak ‘friend’ dengan siswa ini bagi kita, para guru?

Facebook memudahkan kita semua untuk menjalin persahabatan, mencari jejak teman-teman yang pernah hilang ataupun berkomunikasi dengan teman-teman kita sekarang. Tetapi, Facebook yang sudah diakses sekitar 300 juta orang per 2010 ini, banyak menimbulkan pro dan kontra, salah satunya dari komite institusi pendidikan mengenai persahabatan antara guru dan siswa di jejaring sosial.

Beberapa institusi pendidikan di Western Australia telah melarang guru dan siswa menjadi sahabat, kecuali jika mereka memiliki hubungan keluarga. Isu ini terasa sensitif, karena guru dan siswa seharusnya memiliki hubungan seperti pengajar dan pelajar yang harus menghormati pihak pemberi ajaran. Jika berteman di Facebook, maka segala informasi mengenai satu sama lain akan mengalir deras tanpa ada batas kepantasan lagi. Siswa mungkin tidak perlu mengetahui kehidupan pribadi guru terlalu sering, karena selain dapat menjadi bahan olokan, maka pengetahuan tersebut akan diinterpretasikan secara berbeda sehingga mengurangi rasa hormat mereka terhadap guru. Apalagi komentar-komentar pribadi tertentu dari teman-teman guru yang dapat diakses siapa saja membuat siswa mengetahui hal-hal pribadi guru yang perlu mereka teladani.

Masalah kedua yang sering dihadapi guru di negara Barat, adalah mudahnya pendekatan seksual melalui situs seperti ini. Siswa dan guru bisa terjebak dalam hubungan persahabatan platonik yang sering disalah artikan oleh siswa maupun guru. Siswa sering tergantung pada guru untuk hal-hal pribadinya, mengganggu kehidupan pribadi guru dan dapat membuat guru bersikap kurang adil pada siswa tertentu.

Guru-guru yang tidak berkomitmen terhadap hubungan jangka panjang sering tergoda melihat siswa mereka sendiri. Karena siswa di posisi yang lemah, maka mereka cenderung mengikuti keinginan guru untuk bersahabat lebih intim. Tentu saja kegiatan ’ekstra kurikuler’ semacam ini tidak lazim dan mengakibatkan guru terkena tindakan indisipliner.

Lain masalah kontra, lain pula dengan beberapa institusi yang pro dengan jejaring sosial semacam Facebook. Seorang pengarang buku mengenai Blog menyebutkan bahwa Facebook dapat dioptimalkan untuk proses pengajaran. Facebook dapat diakses 24 jam oleh siswa, sehingga hal-hal yang ingin disampaikan dengan cepat dapat dipublikasi tanpa harus menunggu saat berada di depan kelas. Siswa juga dapat membuat forum untuk mata pelajaran tertentu, berdiskusi mengenai kesulitan maupun memberi motivasi pada teman-teman mereka tanpa harus bertemu langsung. Pendek kata, Facebook menjamin efisiensi program belajar-mengajar.

Salah satu manfaat lain dari Facebook yaitu membuat data base siswa. Jika siswa menjadi ’teman’ kita, maka keberadaan mereka dapat dilacak dengan mudah. Tetapi manfaat seperti ini tidak begitu besar, karena jarang sekali ada moderator yang memiliki dedikasi tinggi pada keberadaan grup. Mungkin alasan terbaik yang pernah ada yaitu Facebook menjalin silaturrahmi antara guru dan siswa. That’s it.

Fitur yang ada di Facebook juga dapat digunakan sebagai win-win solution masalah seperti ini. Kita bisa mengelompokkan siswa dalam Friend List. Kita bisa mengecualikan berbagai info pribadi kita dari siswa. Fitur ‘privacy setting’ dalam album foto juga dapat diaktifkan agar siswa tidak dapat melihat foto-foto yang ingin kita jauhkan dari mereka. Di status juga bisa kita set, siapa saja yang tidak perlu mengakses status kita. Hal itu bisa dibilang cukup sukses dalam mengantisipasi ketidaknyamanan berteman dengan siswa.

Bagi saya yang berstatus akademisi,  saya cenderung pada pendapat membatasi hubungan antara guru dan siswa di Facebook. Sebenarnya saya merasa kurang nyaman jika kegiatan sehari-hari, teman-teman maupun komentar saya diketahui mahasiswa yang sedang aktif kuliah. Sebab, saya hanya menginginkan hubungan yang professional dengan para mahasiswa saya.

Perth,
Berteman nanti saja kalau sudah lulus, ya…

Stuban Kampus

Ini hobi baru kami: saya dan suami, yang notabene ide murni dari suami.

Tiap mengunjungi sebuah kota untuk konferensi atau berlibur, kami berdua tidak lupa mampir ke kampus sebuah universitas di sana, khususnya laboratorium Jurusan Teknik Sipil. Tujuannya hanya ingin studi banding kecil-kecilan mengenai suasana akademik di kampus, perpustakaan, alat-alat di laboratorium, taman dan high-end tecnology yang mereka miliki.

Sebenarnya ada beberapa tempat yang kami incar untuk stuban:

Pertama, ruang jurusan dan laboratorium Teknik Sipil. Untuk tempat-tempat seperti ini, kunjungan kami bersifat semi formal. Kalau ada waktu kita minta izin kepada staf yang ditemui saat konferensi. Biasanya mereka akan menyediakan staf/teknisi/mahasiswa riset untuk mengantar kami berkeliling lab dan ruang kelas. Tetapi kalau tidak ada yang kami kenal di suatu kampus, kami mampir sekedarnya di lab-lab Teknik Sipil. Percaya diri saja, menyamar sebagai mahasiswa yang masuk lab. Kita bisa melihat jenis-jenis alat, tipe sampel dan kelengkapan lain yang belum dimiliki. Kalau lab sedang ditutup, kami tidak kehilangan akal. Karena saya seorang peneliti di bidang teknologi beton, maka dengan suka cita saya akan berkeliling tempat pembuangan/tempat parkir ‘sampah riset’ di dekat lab. Dengan demikian saya dapat mengamati berbagai tipe sampel yang telah selesai diuji. Biasanya sampel-sampel demikian hanya dapat dilihat di jurnal atau majalah ilmiah.

Kedua, perpustakaan dan toko buku di kampus. Kunjungan ke perpustakaan selalu menjadi bagian paling menarik. Saya kagum dengan konsep perpustakaan yang harus nyaman dan tidak kaku. Beraneka sofa warna-warni, lantai berlapis karpet tebal, benda-benda seni maupun benda kuno ditata dengan indah di dalamnya seperti di Univ of New South Wales, Sydney. Jurnal dan majalah terbaru terpajang di rak-rak yang bebas diakses semua orang. Pengunjung tidak dibatasi karena perpustakaan universitas di Australia tergolong perpustakaan umum. Tidak perlu menitipkan tas, karena mereka menggunakan security gate di depan pintu masuk perpustakaan. Tempat menarik lain adalah toko buku kampus. Tidak hanya menawarkan buku-buku teks dan alat tulis, tempat ini juga punya buku-buku penulis dari kampus sendiri. Persis di toko buku biasa, buku-buku yang tengah sale juga menjadi incaran mahasiswa dan saya.

Ketiga, suasana akademik. Sebenarnya cukup sulit menilai parameter abstrak ini kalau tidak jeli. Pengumuman mengenai riset, hasil riset, proyek yang sedang berjalan, seminar, konferensi dan lain-lain yang berhubungan dengan kegiatan akademik terdokumentasi sangat rapi. Saya paling semangat melihat pengumuman list paper yang dihasilkan para staf pada tiap semester. Semua orang bisa membaca halaman depan paper tersebut dengan mudah, karena ditempel dalam papan berkaca.

Seminar-seminar rutin internal bertebaran di mana-mana. Inilah yang saya rindukan! Seminar-seminar gratis dari para staf pengajar dan Profesor tersebut sangat berguna untuk memperkaya sudut pandang saya tentang hal-hal di luar disiplin ilmu Teknik Sipil.

Selain itu, untuk meningkatkan suasana akademik, di tempat-tempat tertentu disediakan ‘common room’, untuk staf dan mahasiswa beristirahat, belajar dan makan siang. Suasana akademik yang baik juga diukur dari kemudahan akses internet di pojok kampus. Tanpa perlu berkumpul di perpustakaan, mahasiswa dapat mengakses informasi tak kenal ruang dan waktu.

Fasilitas lain yang superb, menurut saya adalah fasilitas olah raga di kampus. Kampus Curtin membanggakan gym yang sangat besar. Sedangkan kampus Univ Utara Malaysia memiliki track gokart dan lapangan golf sendiri. Kampus-kampus di tepi air seperti Univ of Western Australia boleh membanggakan fasilitas olah raga air, yang tidak jauh beda dengan arena rowing (kayaking) di George River, Cambridge.

Keempat, high-end technology. Pelan-pelan kami mulai mengenali tempat-tempat dengan high-end technology di lingkungan kampus. Beberapa contoh menarik misalnya solar panel untuk tenaga listrik surya di beberapa kampus. Di kampus Harvard, Boston, malah dipasang catatan penggunaan energi listrik yang digunakan di kampus saat itu juga dan jumlah penghematan energi yang dihasilkan lewat layar LCD. Gedung-gedung baru yang dibangun lewat kerjasama universitas dan industri dengan fasilitas high-end banyak mewarnai kampus-kampus tersebut. Tidak terbayang jenis-jenis peralatan yang ada di dalamnya, karena mayoritas disumbangkan langsung oleh pihak industri.

Terakhir, kami akan menikmati taman dan kebun sayuran di kampus. Area demikian sangat menyenangkan untuk membaca, mengerjakan pe-er, atau makan siang karena sangat bersih dan tertata dengan baik. Di bawah pohon dan pergola selalu ada bench, tempat duduk kayu yang berat, untuk duduk-duduk. Di taman-taman juga dipasang public art yang mengesankan. Misalnya saja patung Archimedes di bawah track Manchunian Way di UMIST, Manchester. Soal kebun sayur di dalam kampus? Well, kini saya sering melihat kebun sayur dikembangkan di taman kampus. Di depan gedung Start-Up, kampus Curtin Univ, Perth, dapat diamati tanaman seperti strawberry, brokoli, rubharb, celeriac yang selama ini belum pernah dilihat langsung.

Pekanbaru,

Re-post: Kompetisi dalam Proses Pembelajaran

Setelah beberapa tahun berada di Fakultas saat menjalani studi postgrad, saya mengamati beberapa kali dalam setahun, mahasiswa undergrad (S1) akan mengikuti banyak kompetisi. Pada tahun pertama, mereka akan mengikuti kompetisi jembatan yang dibuat dari tangkai es krim. Tahun ketiga akan mengikuti kompetisi membuat beton prategang. Tak jarang ada kompetisi membuat balok jembatan dari beton dengan bahan khusus yang diadakan organisasi profesi seperti Concrete Institute of Australia (CIA, AUS).

Perlombaan yang sering diadakan oleh American Concrete Society (ACI, US), Institution of Civil Engineers (ICE, UK) juga makin meningkatkan trend pengajaran berbasis kompetisi di kampus-kampus. Konsep kompetisi tampaknya akan menjadi kegiatan yang lebih sering dilakukan dalam pengajaran, menurut salah seorang dosen di jurusan. Mereka suka menantang mahasiswa berpikir di luar kebiasaan dengan memberikan kasus-kasus khusus yang aplikatif. Kasus-kasus seperti perancangan campuran beton jenis baru, kestabilan struktur rangka, dan penemuan jenis rangka jembatan paling efisien dan kuat, memang membantu mahasiswa untuk langsung mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam skala kecil.

Kompetisi bisa mempercepat adaptasi mahasiswa tahun pertama dengan memberikan tugas secara kelompok. Pada kompetisi pembuatan jembatan tangkai es krim di tahun pertama, semua anak harus terlibat dalam tim. Keinginan untuk memenangi kompetisi, menjadikan tiap anak aktif bekerja sama dengan teman-teman yang belum mereka kenal. Cara pendekatan seperti ini lebih efektif, karena tiap grup juga harus berkomunikasi karena berbagi timbangan dan alat ukur.

Kompetisi juga mengasah keahlian bekerja sama dengan tim seperti di dunia kerja. Tiap orang harus bisa mengemukakan pendapat mereka di depan anggota tim. Tetapi mereka juga harus dapat menerima saran teman lain jika memang diperlukan untuk kemulusan proses penyelesaian. Tiap orang harus berusaha agar proyek bersama ini dapat selesai. Pada kompetisi pembuatan jembatan beton dengan bentuk paling efisien untuk menahan beban, tim harus membuat desain inovatif. Saya salut melihat keseriusan beberapa teman undergrad yang mencoba merancang jembatan beton paling efisien untuk menahan beban. Mereka dapat mengemukakan konsep-konsep mekanika yang melatari bentuk desain secara praktis. Jika tim tidak bekerja sama dengan baik, memang mustahil mereka dapat menyelesaikan jembatan tadi.

Kompetisi bisa membantu mereka memahami permasalahan konstruksi dalam aplikasi tanpa harus menunggu saat kerja praktek. Saat berkompetisi mereka diberikan batasan khusus agar produk yang mereka rancang berhasil. Untuk memperluas wawasan mereka, selain harus aktif mencari informasi, mereka bisa minta bantuan para dosen dan praktisi penanggung jawab. Pengetahuan mereka yang tadinya hanya bersifat teoretis, lambat-laun akan diperkaya dengan kompetisi bersifat aplikatif tersebut.

Kompetisi mengajarkan bahwa menang bukan segala-galanya, tetapi proses belajar lebih diutamakan. Saya setuju dengan konsep ini. Tujuan akhir adalah ‘mengetahui lebih banyak’, bukan ‘menjadi no 1 atau tiga besar’. Tiap orang mesti berusaha dahulu sebelum bisa mendapatkan sesuatu. Usaha sungguh-sungguh akan bernilai baik, sedangkan usaha setengah hati tentulah jarang yang berhasil. Jika mereka telah berusaha sebaik-baiknya, tetapi tidak menang, setidaknya mereka telah belajar banyak soal adaptasi, kerja sama dalam tim, serta peningkatan wawasan di bidang keahlian mereka. Pada akhirnya, semangat juang dan pantang menyerah yang mereka pelajari dalam kompetisilah yang membuat mereka sukses dalam mengerjakan ‘kompetisi-kompetisi sesungguhnya dalam hidup.

Pekanbaru,