Alumni Sharing Session to Australia Awards PhD Awardees

Jakarta, 22 Oktober 2015

Undangan untuk berbagi pengalaman saat PhD mendadak datang dari PostAwards Officer, mbak Rosi dan mas Danny di Australia Awards Indonesia. Saya tetap berpikir positif saja meski sedikit nervous karena pengalaman studi PhD kala itu banyak drama daripada lancar dan senangnya. Didorong keinginan kuat untuk berbagi, saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, Bismillah, saya datang ke kampus IALF di Plaza Kuningan, Menara Selatan, Jakarta.

Di kantor sudah menunggu  Prof Brian, bu Catharina dan pak Agus. Pak Agus, teman lama di Curtin, juga akan berbagi kisah inspiratif beliau selama PhD. Saya tidak heran mendengar succes story beliau, karena memang sukses sekali dan berhasil menjadi salah satu seleb Australia Awards Indonesia saat ini.

Untuk sharing session ini kami diwanti-wanti agar menceritakan masalah selama PhD dan apa yang telah kami lakukan untuk mengatasinya. Pak Agus berbagi tentang pengalaman jatuh-bangun selama studi sampai akhirnya beliau mendapatkan award pertama untuk risetnya. Kesuksesan terus berlanjut hingga beliau mendapat Habibie Award untuk riset beliau bagi masyarakat di Gunung Kidul yang kesulitan mendapatkan air bersih. Beliau menunjukkan sikap pantang menyerah meski harus berkutat dengan hal-hal tak disangka dan harus bekerja mandiri untuk catch up dengan waktu yang diberikan donor beasiswa.

Saya hanya berbagi informasi mengenai masalah akademik dan adaptasi budaya. Beberapa masalah akademik yang sering dihadapi mahasiswa Indonesia adalah kemampuan riset dan hubungan mahasiswa-pembimbing. Kemampuan riset seperti paraphrasing/summarizing, writing, dan academic presentation mestinya sudah dimiliki, tetapi baru dipelajari di tahun-tahun awal studi. Akibatnya banyak mahasiswa yang tersangkut kasus plagiarism, terlambat menulis atau mempublikasikan risetnya. Sedangkan masalah dengan pembimbing, biasanya terkait komunikasi, personality clash, pembimbing tidak berpengalaman, terlalu sibuk, atau pembimbing tidak punya waktu untuk kita.

Masalah budaya ternyata cukup berat bagi beberapa orang yang belum pernah tinggal di budaya berbeda. Mereka biasanya mengalami gegar budaya setelah melihat perbedaan-perbedaan yang kurang mengena di budaya lama. Tetapi kemampuan adaptasi budaya yang cepat, seperti langsung berintegrasi dengan budaya lokal dan bisa menginterpretasikan budaya lain dengan mudah, akan membantu proses tersebut tanpa perlu terlalu lama menderita.

Prof Brian setuju saya menyinggung tentang isu Reversed Culture Shock, sebab masa untuk beradaptasi kembali sering terasa lebih menyulitkan daripada menerima budaya baru. Ada beberapa tips untuk smooth adjustment yang saya paparkan, diantaranya berusaha memahami bahwa tidak hanya diri sendiri yang berubah, tetapi orang lain juga berubah, serta mau bersabar karena semua orang perlu waktu untuk merasa nyaman satu sama lain. Untuk tips lengkapnya, bisa dilihat di post berikut.

Saya merasa senang bisa berbagi tips dengan mereka. Semoga suatu hari bisa berbagi lagi.

Jakarta,