Self-Help Books for PhD Study

Saat menjadi mahasiswa tingkat doktoral (atau bahasa kerennya: PhD student), saya dituntut untuk banyak membaca literatur dari bidang keahlian yang dipilih. Alhasil, bukan cuma list bacaan tentang riset saja meningkat, tetapi juga hasil cetak artikelnya juga menumpuk di meja belajar. Tetapi semua bacaan tersebut tidak banyak membantu saya memikirkan penyelesaian PhD secara praktis. Masih banyak yang harus diketahui tentang cara menyelesaikannya.

Pada awalnya saya suka mewawancara teman, staf atau supevisor. Kadang saya setuju dengan arahan mereka, tetapi dasar suka kepengen kreatif, kadang saya ingin memodifikasi cara-cara yang mereka sampaikan sehingga cocok dengan pekerjaan saya. Kadang berhasil, kadang tidak berhasil, sehingga saya memerlukan seseorang/sesuatu untuk menerangkan hal-hal terkait pelaksanaan studi secara ideal.

Suatu hari saat sedang shelving buku (part time job, oh part time job!), saya menemukan deretan buku-buku self-help untuk studi PhD, seperti How to Get a PhD, The Unwritten Rules of PhD Research, Doctorates DownUnder maupun Survival Skills for Scientists. Buku-buku tersebut terdapat dalam versi digital seperti di bookfi.org, etc.

Beberapa poin penting dari buku-buku tersebut yang bisa saya sarikan adalah:

a) Proses penyelesaikan PhD perlu melibatkan aspek psikologi seperti mampu mempertahankan sikap antusias, bisa bekerja secara terisolasi, mandiri tidak tergantung supervisor, dapat mengatasi kebosanan dan rasa frustasi jika ada yang tidak bisa diselesaikan. Kita selalu memerlukan semacam ‘reservoir’ semangat dan hobby supaya tidak mudah stress atau menyerah!

b) PhD adalah studi individual, tetapi bisa mendapat support dari teman-teman yang melakukan PhD. Setiap orang yang pernah mengerjakan PhD, pasti memahami sekali kerumitan dan kepayahan proses studi tersebut. Mereka pasti selalu bersedia memberikan tips, saran, melaksanakan pertemuan, memberikan waktu untuk diskusi, supaya ‘teman’ yang sedang PhD bisa melewati proses tersebut dengan sukses.

c) Hubungan student-supervisor selalu sangat mendominasi pekerjaan riset. ‘Approval’ dari supervisor bermakna sekali dalam tiap pekerjaan. Sebab itu kita disarankan untuk pintar mengelola hubungan ini supaya langgeng, bahkan kalau perlu jauh setelah studi selesai. Supervisor umumnya menyukai mahasiswa penuh inisiatif, punya rencana, tidak gampang menyerah/mengeluh, suka menulis artikel untuk publikasi dan open-minded. Saran terbaik untuk saya yang pernah ada adalah ‘ikuti kata supervisor’ dan ‘jangan menghilangkan rasa antusiasme supervisor kepada kita, si PhD student’. Nah, dari dua tips itu saja, kita semestinya harus tahu jadi seperti apa.

d) Memahami kalau beban wanita/pria dalam proses melaksanakan studi PhD sangat berbeda. Kadang-kadang kita wanita harus rela/berbesar hati mengurangi waktu kumpul-kumpul dengan sesama anggota grup riset karena waktu untuk keluarga saja sudah sulit. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengurus anak, mengurus administrasi/birokrasi adalah tugas-tugas tambahan yang perlu dimasukkan dalam jadwal riset. Bisa menulis beberapa judul artikel dan tidak berangkat konferensi adalah salah satu pengorbanan bagi wanita. Banyak hal yang tidak perlu diikuti jika bukan masuk dalam prioritas studi PhD.

e) Selalu siap untuk menambah keahlian-keahlian baru, seperti organisasi artikel dalam folder, manajemen waktu, software untuk memproses data, pengoperasian alat-alat canggih, metodologi riset, penulisan paper untuk jurnal berimpact factor besar, cross-culture, public speaking, mengajar mahasiswa asing, maupun cara berbicara pada tamu dari industri yang ingin mengetahui riset kita di laboratorium. Semua ini memerlukan keinginan dan antusiasme serta sikap terbuka supaya tidak terdoktrin bahwa PhD student hanya perlu tahu tentang risetnya saja. Semua pengalaman yang tidak bisa dibeli tersebut sebenarnya sangat berguna tidak hanya pada saat PhD saja, tetapi ketika kita berada di dunia kerja.

Pekanbaru,