Guru, siswa dan Facebook

WACOT, Western Australia College of Teaching disciplinary committee pada tahun 2009, meminta agar guru tidak berkomunikasi dengan siswa melalui Facebook atau Myspace. Pelanggaran yang telah dilakukan oleh guru seperti memajang foto sangat pribadi untuk diakses siswa ataupun pendekatan seksual dianggap tidak relevan dengan hubungan guru-siswa. Nah, sebenarnya apa saja dampak ‘friend’ dengan siswa ini bagi kita, para guru?

Facebook memudahkan kita semua untuk menjalin persahabatan, mencari jejak teman-teman yang pernah hilang ataupun berkomunikasi dengan teman-teman kita sekarang. Tetapi, Facebook yang sudah diakses sekitar 300 juta orang per 2010 ini, banyak menimbulkan pro dan kontra, salah satunya dari komite institusi pendidikan mengenai persahabatan antara guru dan siswa di jejaring sosial.

Beberapa institusi pendidikan di Western Australia telah melarang guru dan siswa menjadi sahabat, kecuali jika mereka memiliki hubungan keluarga. Isu ini terasa sensitif, karena guru dan siswa seharusnya memiliki hubungan seperti pengajar dan pelajar yang harus menghormati pihak pemberi ajaran. Jika berteman di Facebook, maka segala informasi mengenai satu sama lain akan mengalir deras tanpa ada batas kepantasan lagi. Siswa mungkin tidak perlu mengetahui kehidupan pribadi guru terlalu sering, karena selain dapat menjadi bahan olokan, maka pengetahuan tersebut akan diinterpretasikan secara berbeda sehingga mengurangi rasa hormat mereka terhadap guru. Apalagi komentar-komentar pribadi tertentu dari teman-teman guru yang dapat diakses siapa saja membuat siswa mengetahui hal-hal pribadi guru yang perlu mereka teladani.

Masalah kedua yang sering dihadapi guru di negara Barat, adalah mudahnya pendekatan seksual melalui situs seperti ini. Siswa dan guru bisa terjebak dalam hubungan persahabatan platonik yang sering disalah artikan oleh siswa maupun guru. Siswa sering tergantung pada guru untuk hal-hal pribadinya, mengganggu kehidupan pribadi guru dan dapat membuat guru bersikap kurang adil pada siswa tertentu.

Guru-guru yang tidak berkomitmen terhadap hubungan jangka panjang sering tergoda melihat siswa mereka sendiri. Karena siswa di posisi yang lemah, maka mereka cenderung mengikuti keinginan guru untuk bersahabat lebih intim. Tentu saja kegiatan ’ekstra kurikuler’ semacam ini tidak lazim dan mengakibatkan guru terkena tindakan indisipliner.

Lain masalah kontra, lain pula dengan beberapa institusi yang pro dengan jejaring sosial semacam Facebook. Seorang pengarang buku mengenai Blog menyebutkan bahwa Facebook dapat dioptimalkan untuk proses pengajaran. Facebook dapat diakses 24 jam oleh siswa, sehingga hal-hal yang ingin disampaikan dengan cepat dapat dipublikasi tanpa harus menunggu saat berada di depan kelas. Siswa juga dapat membuat forum untuk mata pelajaran tertentu, berdiskusi mengenai kesulitan maupun memberi motivasi pada teman-teman mereka tanpa harus bertemu langsung. Pendek kata, Facebook menjamin efisiensi program belajar-mengajar.

Salah satu manfaat lain dari Facebook yaitu membuat data base siswa. Jika siswa menjadi ’teman’ kita, maka keberadaan mereka dapat dilacak dengan mudah. Tetapi manfaat seperti ini tidak begitu besar, karena jarang sekali ada moderator yang memiliki dedikasi tinggi pada keberadaan grup. Mungkin alasan terbaik yang pernah ada yaitu Facebook menjalin silaturrahmi antara guru dan siswa. That’s it.

Fitur yang ada di Facebook juga dapat digunakan sebagai win-win solution masalah seperti ini. Kita bisa mengelompokkan siswa dalam Friend List. Kita bisa mengecualikan berbagai info pribadi kita dari siswa. Fitur ‘privacy setting’ dalam album foto juga dapat diaktifkan agar siswa tidak dapat melihat foto-foto yang ingin kita jauhkan dari mereka. Di status juga bisa kita set, siapa saja yang tidak perlu mengakses status kita. Hal itu bisa dibilang cukup sukses dalam mengantisipasi ketidaknyamanan berteman dengan siswa.

Bagi saya yang berstatus akademisi,  saya cenderung pada pendapat membatasi hubungan antara guru dan siswa di Facebook. Sebenarnya saya merasa kurang nyaman jika kegiatan sehari-hari, teman-teman maupun komentar saya diketahui mahasiswa yang sedang aktif kuliah. Sebab, saya hanya menginginkan hubungan yang professional dengan para mahasiswa saya.

Perth,
Berteman nanti saja kalau sudah lulus, ya…

Stuban Kampus

Ini hobi baru kami: saya dan suami, yang notabene ide murni dari suami.

Tiap mengunjungi sebuah kota untuk konferensi atau berlibur, kami berdua tidak lupa mampir ke kampus sebuah universitas di sana, khususnya laboratorium Jurusan Teknik Sipil. Tujuannya hanya ingin studi banding kecil-kecilan mengenai suasana akademik di kampus, perpustakaan, alat-alat di laboratorium, taman dan high-end tecnology yang mereka miliki.

Sebenarnya ada beberapa tempat yang kami incar untuk stuban:

Pertama, ruang jurusan dan laboratorium Teknik Sipil. Untuk tempat-tempat seperti ini, kunjungan kami bersifat semi formal. Kalau ada waktu kita minta izin kepada staf yang ditemui saat konferensi. Biasanya mereka akan menyediakan staf/teknisi/mahasiswa riset untuk mengantar kami berkeliling lab dan ruang kelas. Tetapi kalau tidak ada yang kami kenal di suatu kampus, kami mampir sekedarnya di lab-lab Teknik Sipil. Percaya diri saja, menyamar sebagai mahasiswa yang masuk lab. Kita bisa melihat jenis-jenis alat, tipe sampel dan kelengkapan lain yang belum dimiliki. Kalau lab sedang ditutup, kami tidak kehilangan akal. Karena saya seorang peneliti di bidang teknologi beton, maka dengan suka cita saya akan berkeliling tempat pembuangan/tempat parkir ‘sampah riset’ di dekat lab. Dengan demikian saya dapat mengamati berbagai tipe sampel yang telah selesai diuji. Biasanya sampel-sampel demikian hanya dapat dilihat di jurnal atau majalah ilmiah.

Kedua, perpustakaan dan toko buku di kampus. Kunjungan ke perpustakaan selalu menjadi bagian paling menarik. Saya kagum dengan konsep perpustakaan yang harus nyaman dan tidak kaku. Beraneka sofa warna-warni, lantai berlapis karpet tebal, benda-benda seni maupun benda kuno ditata dengan indah di dalamnya seperti di Univ of New South Wales, Sydney. Jurnal dan majalah terbaru terpajang di rak-rak yang bebas diakses semua orang. Pengunjung tidak dibatasi karena perpustakaan universitas di Australia tergolong perpustakaan umum. Tidak perlu menitipkan tas, karena mereka menggunakan security gate di depan pintu masuk perpustakaan. Tempat menarik lain adalah toko buku kampus. Tidak hanya menawarkan buku-buku teks dan alat tulis, tempat ini juga punya buku-buku penulis dari kampus sendiri. Persis di toko buku biasa, buku-buku yang tengah sale juga menjadi incaran mahasiswa dan saya.

Ketiga, suasana akademik. Sebenarnya cukup sulit menilai parameter abstrak ini kalau tidak jeli. Pengumuman mengenai riset, hasil riset, proyek yang sedang berjalan, seminar, konferensi dan lain-lain yang berhubungan dengan kegiatan akademik terdokumentasi sangat rapi. Saya paling semangat melihat pengumuman list paper yang dihasilkan para staf pada tiap semester. Semua orang bisa membaca halaman depan paper tersebut dengan mudah, karena ditempel dalam papan berkaca.

Seminar-seminar rutin internal bertebaran di mana-mana. Inilah yang saya rindukan! Seminar-seminar gratis dari para staf pengajar dan Profesor tersebut sangat berguna untuk memperkaya sudut pandang saya tentang hal-hal di luar disiplin ilmu Teknik Sipil.

Selain itu, untuk meningkatkan suasana akademik, di tempat-tempat tertentu disediakan ‘common room’, untuk staf dan mahasiswa beristirahat, belajar dan makan siang. Suasana akademik yang baik juga diukur dari kemudahan akses internet di pojok kampus. Tanpa perlu berkumpul di perpustakaan, mahasiswa dapat mengakses informasi tak kenal ruang dan waktu.

Fasilitas lain yang superb, menurut saya adalah fasilitas olah raga di kampus. Kampus Curtin membanggakan gym yang sangat besar. Sedangkan kampus Univ Utara Malaysia memiliki track gokart dan lapangan golf sendiri. Kampus-kampus di tepi air seperti Univ of Western Australia boleh membanggakan fasilitas olah raga air, yang tidak jauh beda dengan arena rowing (kayaking) di George River, Cambridge.

Keempat, high-end technology. Pelan-pelan kami mulai mengenali tempat-tempat dengan high-end technology di lingkungan kampus. Beberapa contoh menarik misalnya solar panel untuk tenaga listrik surya di beberapa kampus. Di kampus Harvard, Boston, malah dipasang catatan penggunaan energi listrik yang digunakan di kampus saat itu juga dan jumlah penghematan energi yang dihasilkan lewat layar LCD. Gedung-gedung baru yang dibangun lewat kerjasama universitas dan industri dengan fasilitas high-end banyak mewarnai kampus-kampus tersebut. Tidak terbayang jenis-jenis peralatan yang ada di dalamnya, karena mayoritas disumbangkan langsung oleh pihak industri.

Terakhir, kami akan menikmati taman dan kebun sayuran di kampus. Area demikian sangat menyenangkan untuk membaca, mengerjakan pe-er, atau makan siang karena sangat bersih dan tertata dengan baik. Di bawah pohon dan pergola selalu ada bench, tempat duduk kayu yang berat, untuk duduk-duduk. Di taman-taman juga dipasang public art yang mengesankan. Misalnya saja patung Archimedes di bawah track Manchunian Way di UMIST, Manchester. Soal kebun sayur di dalam kampus? Well, kini saya sering melihat kebun sayur dikembangkan di taman kampus. Di depan gedung Start-Up, kampus Curtin Univ, Perth, dapat diamati tanaman seperti strawberry, brokoli, rubharb, celeriac yang selama ini belum pernah dilihat langsung.

Pekanbaru,