Dihadapi saja, jangan ditakuti

‘Lagi-lagi tentang mindset.’

Beberapa orang mahasiswa tugas akhir di tempat saya sangat takut saat mendapatkan dosen tertentu sebagai penguji. Bukannya menyusun strategi, menambah amunisi atau mencari ketenangan, mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk mengulang-ulang cerita horror tentang ujian proposal dengan dosen tersebut.

Saya tak habis pikir dengan mindset mereka.

Bukankah dosen yang killer tapi pintar itu sebenarnya lebih banyak memberikan masukan bagus-bagus untuk tugas akhir mereka? Kenapa harus takut dan tersinggung jika kita memang layak untuk diajak berpikir mengenai tugas akhir? Mengapa defensif, seolah-olah kita tidak boleh ditanya tentang pekerjaan kita? Jika ditanya saja sudah ngeri, bagaimana dengan mempertahankan argumennya?

Pantas, saya harus menceritakan kisah pribadi berikut saat dibimbing dosen killer se jurusan waktu S1. Memang menakutkan, tapi saya pasrah saja, karena:

        Apa yang terlihat buruk di luar belum tentu seperti itu di dalamnya.

       Sesuatu yang sulit dan pahit, pasti banyak manfaatnya.

        Hidup itu memang penuh perjuangan…

        Bersakit-sakit dahulu, berenang-renang ke tepian, berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian (woi, kebalik!)

        etc, etc.

Berbekal mindset demikian, saya harus rela datang pukul lima pagi setelah shalat subuh hanya untuk asistensi di rumah beliau! Ngantuk, lapar, kedinginan, tapi harus menahan diri melihat laporan Kerja Praktek dicoret-coret setiap hari. Hari ini salah bab I dan II. Besok, masih salah bab I, II, dan III. Besoknya lagi, bab itu-itu lagi yang salah: I, II, III, dan IV. Untunglah hanya ada 5 bab, sehingga setelah asistensi intensif setiap hari dalam seminggu, saya boleh menjilid laporan KP dan berhak atas nilai A.

Hal seperti itu yang tidak mau dipahami mahasiswa saya sekarang. Ketimbang menyiapkan diri atau mengerjakan ‘homework’nya terlebih dahulu, ia memilih khawatir siang-malam sampai detik-detik berhadapan langsung dengan dosen yang ditakutinya tiba. Tidak heran 70% peluang gagal ada di tangan mereka.

Sebagai langkah penyelesaian, pertama, saya minta mahasiswa untuk menukar mindsetnya. Ia harus membuat dirinya memahami bahwa ‘dosen penguji proposal hanya ingin membantu supaya tugas akhir yang dihasilkan lebih berkualitas’. Saya tekankan hal itu berulang-ulang kali.

Kedua, ia harus dibantu dalam mempersiapkan diri, karena orang yang sedang tegang pasti tak bisa berpikir jernih. Beberapa teknik saya gunakan, misalnya mengirimkan list pertanyaan tentang TA, membaca dan mengedit proposal sehingga lebih layak dibaca, dan mengajarkannya membuat presentasi TA yang menarik. Tunjukkan bahwa pembimbing sangat peduli dengan persiapannya dalam seminar, sehingga timbul kepercayaan di diri mahasiswa bahwa ia tidak sendirian berjuang di sana.

Akhirnya, saya ajarkan ia untuk pasrah. Saat semua usaha sudah dilakukan secara maksimal, artinya kita sudah menyelesaikan 90% dari seluruh persiapan, ia harus bisa menerima masukan yang terburuk sekalipun. Disamping itu saya membantu menumbuhkan rasa optimis bahwa kalau ia harus mengulang, saya siap mencarikannya judul baru dan membantunya dari awal lagi. Meskipun saya sendiri tahu bahwa hal itu tidak perlu sampai demikian kalau semua persiapan sudah dilakukan dengan maksimal.

Pekanbaru,