Beda tempat, beda style

Bulan lalu saya menghadiri konferensi internasional di suatu tempat. Di sana saya mempresentasikan penelitian dari riset S3 sebelumnya tentang pengaruh mikro algae pada korosi baja tulangan beton geopolimer.

Pada hari pertama, konferensi terlihat wah dengan ratusan peserta. Belajar dari pengalaman, saya sudah siap-siap kalau saat saya presentasi di hari kedua nanti, mungkin hanya ada 5-8 orang yang mau menyaksikannya. Berkaca dari pengalaman ikut presentasi di tempat lain, saya merasa ada beberapa faktor penyebab sebuah konferensi ditinggalkan pesertanya dan kurang berkesan.

Pertama, keinginan belajar para peserta melalui presentasi penelitian lain sangat minim. Kita tidak mau duduk barang sebentar untuk melihat presentasi yang diminati, apalagi mau aktif bertanya pada sang presenter. Mayoritas peserta sudah tak tentu batang hidungnya setelah presentasi mereka selesai. Mereka tidak tertarik untuk duduk mendengarkan presentasi peserta lain dengan alasan tidak cukup waktu untuk jalan-jalan atau melakukan kegiatan pribadi. Lagipula semua materi sudah dirangkum dalam CD, jadi tidak ada alasan untuk duduk di sana, padahal paper tersebut dapat dibaca di rumah nanti.

Di Australia, Cina dan Inggris, para peserta sangat antusias untuk duduk memperhatikan tiap presentasi. Saat di Australia, saya sering kecele sendiri, karena sebelum giliran saya biasanya ruangan terlihat sepi. Begitu saya mulai berdiri di depan podium untuk presentasi, ruangan yang tadi sepi lantas penuh sesak dan para peserta banyak yang rela berdiri sekedar untuk mendengarkan presentasi tersebut. Meski takut setengah mati, saya sebenarnya sangat berbesar hati melihat penghargaan dari mereka.

Kedua, konferensi bunga rampai yang kelewat gado-gado dalam pelaksanaannya. Sebenarnya pihak penyelenggara boleh berbesar hati dengan jumlah peserta dari berbagai bidang. Tetapi dalam pelaksanaannya, sebaiknya semua bidang ilmu dipisahkan melalui beberapa sesi. Dengan demikian, peserta tidak harus menunggu terlalu lama  untuk mengikuti presentasi yang mereka inginkan. Sayapun demikian. Saya memilih untuk kabur dari tempat konferensi daripada duduk di ruangan seminar dengan materi yang tidak saya pahami.

Padahal di negara-negara maju, penelitian multidisiplin berkembang pesat dan mengkolaborasikan keahlian berbagai bidang, sehingga para peneliti selalu mencoba mencari kesempatan atau jejaring yang dapat diajak bekerjasama. Salah satunya dengan menyaksikan presentasi para peserta dari bidang lain untuk mencari peluang kerja sama. Saya sering mendapatkan kenalan dengan cara demikian. Berbagai masukan dari pihak yang tidak sebidang tapi risetnya berkaitan dengan saya cukup membantu dalam penyelesaian tesis. Tidaklah mengherankan bahwa konferensi menjadi ajang paling ampuh untuk melaksanakan networking.

Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa beda tempat, memang beda style. Alasan utama: mungkin kuantitas sering dilebih-lebihkan daripada kualitas.

Pekanbaru,