Repost: A dedicated Dr IC

Tulisan ini pernah dipost pada blog ini.

Lelaki separuh baya bertubuh besar, tinggi, berambut putih, dan bersuara menggelegar itu memberi perintah sana-sini. Walaupun tengah berbicara dengan teknisi, dengan bahasa Inggris yang terlalu cepat tetapi terdengar mantap, sekali-sekali ia memberi petunjuk pada kerumunan mahasiswa di depannya.

Beberapa bulan setelah saya selesai studi literatur, Dr IC mendapat kesempatan untuk membaca proposal saya. Menurutnya, banyak hal yang harus diperbaiki walaupun proposal itu sendiri sudah ‘readable’. Ia bukan pembimbing utama, tapi hanya sebagai Associate Supervisor. Saya hanya bisa menerima komentarnya tanpa banyak protes, karena riset memang hal baru bagi saya. Disamping itu Dr IC adalah sesepuh dosen Struktur di Jurusan, so, hitung-hitungan cepat mengatakan bahwa pengetahuan saya sendiri paling 10% dari pengetahuannya. Dr IC menginginkan riset aplikatif, orisinal dan sesuai dengan tujuan akhir kualifikasi level mahasiswa doktoral. Saya seperti melihat sebuah puncak sebuah menara, padahal rasanya posisi saya sekarang masih berada jauh di luar pagar menara itu sendiri.

Dr IC terkenal akan campur-tangannya dalam berbagai hal di lab Beton. Meskipun sibuk dengan mengajar kelas dan terlibat dengan berbagai proyek, tetapi Dr IC selalu berusaha hadir di lab luas itu. Peralatannya membentang dari dalam lab Beton hingga di bawah ‘Big Blue Shed’. Big Blue, demikian mereka memanggilnya, adalah tempat menguji sampel dengan alat-alat berskala lapangan.  Dr IC adalah tipe orang yang tak sungkan duduk diam di lab mengutak-utik program dan mengkalibrasi data logger selama berhari-hari. Ia seperti sebuah kelengkapan lab, karena pengetahuannya yang luas di bidang teori dan aplikasi menjadi tempat rujukan bagi siapapun.

Beliau sepertinya selalu turun tangan ingin membantu (baca: mengurusi) riset siapa saja yang membutuhkan dirinya. Bisa jadi dari sekedar saran keilmuan hingga bantuan tenaga. Terkejut juga melihat Dr IC mau berkotor-kotor meratakan permukaan beton segar yang baru dicor milik seorang teman tanpa diminta. Saya sering terkaget-kaget mendengarnya berbicara langsung memberikan saran saat saya tengah mengerjakan sesuatu yang dianggapnya belum sempurna. Misalnya saat pemasangan sulfur cap untuk benda uji tes tekan. Tangan ini sampai pegal rasanya karena harus mengulangi pemakaian sulfur cap pada sampel agar mendapatkan permukaan yang rata sesuai alat kalibrasi. “Jika tidak, hasilnya kurang akurat karena beban tidak terdistribusi merata di permukaan benda uji”, kata Dr IC, membesarkan hati melihat wajah saya yang kelelahan.

Dosen seperti Dr IC memang bukan idola para teknisi di lab. Ia selalu ‘pushy, wants things on the spot, crazy’ dan segudang kata-kata berbunga (baca: mengerikan) selalu royal dilimpahkan mereka untuknya. Diri sayapun selalu bimbang menentukan sikap. Kadang mengidolakan, kadang ingin beliau pensiun saja dari lab. Jika sedang merasa dibantu, saya jadi ‘friends’, sedangkan saat jadwal riset saya terpotong untuk keperluannya,  sudah pasti langsung mencak-mencak sendiri berharap ia tidak pernah melakukannya. Tetapi biar tak jelas begitu, kadang di saat-saat paling tak terduga, Dr IC bisa ada untuk membantu. Untuk pengambilan data terakhir riset saya yang telah tertunda berbulan-bulan, Dr IC malah bersedia membantu mengkalibrasi dan mengatur alat-alat tes Modulus of Elasticity tersebut. Kami bekerja sama dengan baik sekali, tanpa beban perasaan.

Mungkin semangat Dr IC yang meledak-ledak, keinginannya agar semua orang bisa ‘as professional as they can be’, dan berbagai harapan agar semua tantangan yang diterimanya dalam pekerjaan dapat terakomodasi, membuatnya terlihat sangat produktif. Padahal jika dilihat dari kondisi fisiknya sekarang, Dr IC tampak lebih tua dan ringkih dari tahun-tahun sebelumnya. Ia masih tidak mau menyerah, meskipun umur dan penyakit terus menggerus kecepatan aktivitasnya. Ia bilang, kesukaannya pada ‘tantangan’ dan keasyikan memberi pengajaran pada mahasiswa Teknik Sipil dengan cara berbeda dari semestinya, seperti ‘beam competition’; bagaikan sebuah tonik penambah semangat hidup.

Semangat itulah yang ingin ditularkannya pada orang-orang di sekelilingnya. Pada dosen muda seperti saya, ia berpesan agar rajin berinovasi dalam pengajaran dan penelitian, sekaligus memperbaiki kompetensi diri agar dapat menjadi pengajar sekaligus insinyur yang profesional.

Saat saya berpamitan dari lab untuk terakhir kalinya, Dr IC menyalami saya dengan hangat. Saya lihat matanya seperti penuh berkata-kata tentang sesuatu. Entah apa artinya, sehingga saya merasa sungkan dan melirik lantai beton di bawahku. Sudah bertahun-tahun saya melihatnya di sana dan pada saat yang sama pula ia melihat kegigihan saya berjuang di lab maskulin itu. Meskipun pekerjaan itu memerlukan waktu lebih lama dari orang lain,  saya harap dia melihat usaha-usaha yang tidak sempurna itu sebagai sebuah usaha terbaik saya untuk menaklukkan kesangaran perjalanan mendaki menara PhD.

Detik berikutnya, saya bisa melihat penghargaan itu dari dirinya. Karena ia sekarang mulai berceramah tanpa ragu soal proyek terbaru mereka di Kalbarri, daerah pertambangan; seolah-olah saya seseorang yang telah lama dikenalnya dengan baik.

Thank’s Dr IC to remind me that, “There’s always a room for improvement”.

Perth,