Kunjungan ke Key Laboratory of Advanced Civil Materials of Ministry Education, Tongji University, Shanghai

Saat mengikuti ASPIC 6 (Asian Symposium on Polymers in Concrete) 2009, di Tongji University, Shanghai, saya sempat mengunjungi salah satu laboratorium bahan. Sebagai catatan, ASPIC 6 adalah symposium tiga tahunan tentang beton polimer untuk mendiskusikan perkembangan dan teknologi terbaru untuk aplikasi bahan ini. ASPIC 6 disponsori oleh RILEM (International Union of Laboratories and Experts in Construction Materials, Systems and Structures), (www.rilem.org).

Laboratorium Advanced Civil Materials merupakan salah satu lab yang dibangun di Universitas Tongji pada tahun 2005 dengan bantuan Kementerian Pendidikan China. Lab tersebut dilengkapi dengan 19 peralatan laboratorium yang harganya sekitar RMB 500.000 atau sekitar Rp 750.000.000 per unit. Hingga kini, lab itu menjadi tempat riset untuk melaksanakan penelitian dan proyek-proyek yang didanai oleh berbagai kementerian di China. Riset-riset mengenai bahan baku semen, bahan komposit, bahan-bahan ramah lingkungan serta penelitian mengenai kinerja dan karakteristik bahan dilakukan oleh sekitar 24 orang profesor dan 37 orang staf dosen dengan melibatkan 300 orang postdoctoral dan mahasiswa pasca sarjana.

Saya agak ragu-ragu sewaktu Dr X, seorang staf postdoktoral wanita, mengatakan ingin memboncengi saya menggunakan sepedanya. Sepeda memang alat transportasi paling praktis di China, termasuk untuk keperluan di kampus. Padahal jarak lab tidak terlalu jauh dari tempat simposium, tetapi Dr X memaksa saya mencoba moda transportasi khas itu. Ternyata memang menyenangkan naik sepeda dari satu tempat ke tempat lain di kampus Tongji!

Awalnya saya diajak ke sebuah gedung berlantai dua yang tampak kusam berdebu. Saya tidak heran dengan penampilan gedung yang saya nilai tidak secerah gedung kampus di Australia. Pasalnya, tingkat polusi di kota Shanghai sudah pada taraf memprihatinkan. Semua bangunan jadi seperti memakai bedak putih. Meski begitu, saya tetap berpikir positif bahwa di balik penampilannya yang kurang menarik, maka kita tak boleh meremehkan isi labnya.

Ternyata dugaan saya benar. Baru di lantai dasar saja, saya sudah tertarik melihat riset mereka. Dr X menunjukkan sebuah model dinding bercat merah yang dipenuhi tempelan keramik. Menurutnya, tempat itu merupakan tempat tes untuk menempelkan mortar jenis baru. Tujuannya, untuk mengecek tekstur, kemudahan pengerjaan, arah aplikasi dan waktu ikat dari mortar saat digunakan keramik ditempel ke dinding.  Ini riset yang menarik. Kita akan menggunakan keramik untuk menjaga dinding agar tidak mudah kotor atau rusak, sehingga bahan ikat yang kuat, mudah kering dan tidak cepat retak sangat dibutuhkan.

Sebuah dinding yang dibangun di belakang dinding tempelan keramik tadi ternyata untuk riset ‘energy efficient wall’ yang sedang menjadi trend saat ini. Inti riset ini adalah untuk membuat dinding yang dapat menstabilkan suhu di musim panas maupun musim dingin, sehingga penggunaan energi untuk pendingin maupun pemanas ruangan dapat ditekan.

Beberapa saat kemudian kami memasuki beberapa ruangan lab untuk bahan-bahan konstruksi teknik sipil seperti tanah, mortar, dan beton. Aneka peralatan lab dan asesorisnya tersusun dengan rapi di dalam lab. Beberapa pekerjaan seperti menguji kekuatan keramik, pori bata, rembesan mortar, korosi baja, tarik baja, kekuatan suhu tinggi baja, durabilitas beton dan lain-lain bisa langsung diamati di sana. Semua peralatannya kecil-kecil dan kegiatan mereka sangat menyenangkan untuk dilihat. Rasanya ingin punya lab sebagus itu di Universitas Riau.

Saya menunjuk pada beberapa bebek keramik berwarna putih yang baru dikeluarkan dari cetakan.  “Apakah ini bagian dari riset juga?” tanya saya kepada Dr X. Dr X dan teknisi yang sedang berada di situ tertawa lebar. Bebek-bebek dari keramik tersebut dibuat oleh para teknisi di waktu luang mereka untuk dijual. Bebek itu dicat berwarna-warni dan siap dipasarkan di toko souvenir.

Kami berkeliling sebentar untuk melihat alat-alat lain. Dr X dengan bersemangat menjelaskan kegunaan tiap alat dan data yang diperoleh dari pengujian. Saya bisa melihat uji shrinkage yang sampelnya diberi beban. Biasanya saya melakukannya pada benda yang tidak dibebani. Uji seperti ini sudah mengarah pada keadaaan sebenarnya di lapangan. Lab mereka punya tiga set alat uji permeabilitas. Lebih banyak dari alat yang dimiliki GHD/SGS di Perth tempat saya mengerjakan sebagian riset.

Hal yang paling menyenangkan bagi saya saat itu, yakni pada akhirnya saya dapat melihat langsung alat Freezing-Thawing, sesuai dengan standard ASTM C666 (Standard Test Method for Resistance to Rapid Freezing and Thawing). Pengujian ini sulit ditemukan di Australia karena jarang terpakai. Pengujian ini menggunakan sebuah peti freezing-thawing besar yang dapat memuat 10-15 sampel. Beton diuji untuk menentukan ketahanannya akibat siklus freezing-thawing berulang. Siklus freezing-thawing biasanya terjadi di negara empat musim dengan cuaca panas-dingn ekstrim. Pengaruh suhu ekstrim berulang tersebut akan mengurangi kekakuan dan merusak pori-pori beton. Sampel yang telah dimasukkan dalam peti freezing-thawing, lalu diuji sifat elastis dan porositasnya.

Sesuai janjinya tadi, Dr X memperlihatkan beton geopolimer dari slag yang dibuatnya untuk riset. Kami sama-sama membuat beton geopolimer, tetapi saya membuat sampel berbahan dasar abu terbang. Permukaannya sampel miliknya lebih halus dan kelihatannya lebih kedap air. Meskipun beberapa lubang terlihat di sana, tetapi hasil penelitian mereka jauh lebih menjanjikan untuk aplikasi langsung. Cukup lama juga kami berdiskusi mengenai hasil riset beliau dan saya. Ia memberikan banyak saran untuk memperbaiki kinerja beton saya. Menurut Dr X, hasil risetnya itu telah dipublikasikan di jurnal ASCE. Ia bilang, saya pasti bisa menuliskan artikel yang bagus untuk publikasi juga. Sungguh manis, dia.

Ah, sepertinya saya harus bergegas pulang ke Perth, untuk memperbaiki kinerja beton geopolimer itu dan menuliskan hasilnya di paper bagus juga.

 

Pekanbaru,

Repost: A dedicated Dr IC

Tulisan ini pernah dipost pada blog ini.

Lelaki separuh baya bertubuh besar, tinggi, berambut putih, dan bersuara menggelegar itu memberi perintah sana-sini. Walaupun tengah berbicara dengan teknisi, dengan bahasa Inggris yang terlalu cepat tetapi terdengar mantap, sekali-sekali ia memberi petunjuk pada kerumunan mahasiswa di depannya.

Beberapa bulan setelah saya selesai studi literatur, Dr IC mendapat kesempatan untuk membaca proposal saya. Menurutnya, banyak hal yang harus diperbaiki walaupun proposal itu sendiri sudah ‘readable’. Ia bukan pembimbing utama, tapi hanya sebagai Associate Supervisor. Saya hanya bisa menerima komentarnya tanpa banyak protes, karena riset memang hal baru bagi saya. Disamping itu Dr IC adalah sesepuh dosen Struktur di Jurusan, so, hitung-hitungan cepat mengatakan bahwa pengetahuan saya sendiri paling 10% dari pengetahuannya. Dr IC menginginkan riset aplikatif, orisinal dan sesuai dengan tujuan akhir kualifikasi level mahasiswa doktoral. Saya seperti melihat sebuah puncak sebuah menara, padahal rasanya posisi saya sekarang masih berada jauh di luar pagar menara itu sendiri.

Dr IC terkenal akan campur-tangannya dalam berbagai hal di lab Beton. Meskipun sibuk dengan mengajar kelas dan terlibat dengan berbagai proyek, tetapi Dr IC selalu berusaha hadir di lab luas itu. Peralatannya membentang dari dalam lab Beton hingga di bawah ‘Big Blue Shed’. Big Blue, demikian mereka memanggilnya, adalah tempat menguji sampel dengan alat-alat berskala lapangan.  Dr IC adalah tipe orang yang tak sungkan duduk diam di lab mengutak-utik program dan mengkalibrasi data logger selama berhari-hari. Ia seperti sebuah kelengkapan lab, karena pengetahuannya yang luas di bidang teori dan aplikasi menjadi tempat rujukan bagi siapapun.

Beliau sepertinya selalu turun tangan ingin membantu (baca: mengurusi) riset siapa saja yang membutuhkan dirinya. Bisa jadi dari sekedar saran keilmuan hingga bantuan tenaga. Terkejut juga melihat Dr IC mau berkotor-kotor meratakan permukaan beton segar yang baru dicor milik seorang teman tanpa diminta. Saya sering terkaget-kaget mendengarnya berbicara langsung memberikan saran saat saya tengah mengerjakan sesuatu yang dianggapnya belum sempurna. Misalnya saat pemasangan sulfur cap untuk benda uji tes tekan. Tangan ini sampai pegal rasanya karena harus mengulangi pemakaian sulfur cap pada sampel agar mendapatkan permukaan yang rata sesuai alat kalibrasi. “Jika tidak, hasilnya kurang akurat karena beban tidak terdistribusi merata di permukaan benda uji”, kata Dr IC, membesarkan hati melihat wajah saya yang kelelahan.

Dosen seperti Dr IC memang bukan idola para teknisi di lab. Ia selalu ‘pushy, wants things on the spot, crazy’ dan segudang kata-kata berbunga (baca: mengerikan) selalu royal dilimpahkan mereka untuknya. Diri sayapun selalu bimbang menentukan sikap. Kadang mengidolakan, kadang ingin beliau pensiun saja dari lab. Jika sedang merasa dibantu, saya jadi ‘friends’, sedangkan saat jadwal riset saya terpotong untuk keperluannya,  sudah pasti langsung mencak-mencak sendiri berharap ia tidak pernah melakukannya. Tetapi biar tak jelas begitu, kadang di saat-saat paling tak terduga, Dr IC bisa ada untuk membantu. Untuk pengambilan data terakhir riset saya yang telah tertunda berbulan-bulan, Dr IC malah bersedia membantu mengkalibrasi dan mengatur alat-alat tes Modulus of Elasticity tersebut. Kami bekerja sama dengan baik sekali, tanpa beban perasaan.

Mungkin semangat Dr IC yang meledak-ledak, keinginannya agar semua orang bisa ‘as professional as they can be’, dan berbagai harapan agar semua tantangan yang diterimanya dalam pekerjaan dapat terakomodasi, membuatnya terlihat sangat produktif. Padahal jika dilihat dari kondisi fisiknya sekarang, Dr IC tampak lebih tua dan ringkih dari tahun-tahun sebelumnya. Ia masih tidak mau menyerah, meskipun umur dan penyakit terus menggerus kecepatan aktivitasnya. Ia bilang, kesukaannya pada ‘tantangan’ dan keasyikan memberi pengajaran pada mahasiswa Teknik Sipil dengan cara berbeda dari semestinya, seperti ‘beam competition’; bagaikan sebuah tonik penambah semangat hidup.

Semangat itulah yang ingin ditularkannya pada orang-orang di sekelilingnya. Pada dosen muda seperti saya, ia berpesan agar rajin berinovasi dalam pengajaran dan penelitian, sekaligus memperbaiki kompetensi diri agar dapat menjadi pengajar sekaligus insinyur yang profesional.

Saat saya berpamitan dari lab untuk terakhir kalinya, Dr IC menyalami saya dengan hangat. Saya lihat matanya seperti penuh berkata-kata tentang sesuatu. Entah apa artinya, sehingga saya merasa sungkan dan melirik lantai beton di bawahku. Sudah bertahun-tahun saya melihatnya di sana dan pada saat yang sama pula ia melihat kegigihan saya berjuang di lab maskulin itu. Meskipun pekerjaan itu memerlukan waktu lebih lama dari orang lain,  saya harap dia melihat usaha-usaha yang tidak sempurna itu sebagai sebuah usaha terbaik saya untuk menaklukkan kesangaran perjalanan mendaki menara PhD.

Detik berikutnya, saya bisa melihat penghargaan itu dari dirinya. Karena ia sekarang mulai berceramah tanpa ragu soal proyek terbaru mereka di Kalbarri, daerah pertambangan; seolah-olah saya seseorang yang telah lama dikenalnya dengan baik.

Thank’s Dr IC to remind me that, “There’s always a room for improvement”.

Perth,